Karena berbagai hal, termasuk eksploitasi pekerja migran hingga diskriminasi kelompok LGBT
Piala Dunia 2022 semakin dekat. Kali ini, pergelaran sepak bola internasional tersebut akan berlangsung di Qatar pada 20 November hingga 18 Desember 2022 mendatang.
Ini adalah pertama kalinya bagi Qatar untuk menyelenggarakan turnamen kelas dunia tersebut. Ini juga menjadi pertama kali Piala Dunia FIFA diadakan di negara Timur Tengah, tepatnya di Jazirah Arab yang mayoritas berpenduduk Muslim.
Terlepas dari capaiannya, terdapat beberapa hal yang dikecam dunia terkait dengan proses persiapan yang dilakukan Qatar. Berikut beberapa penyebabnya!
Untuk menggelar Piala Dunia tahun ini, Qatar membangun tujuh stadion, satu bandar udara baru, jaringan kereta, dan sejumlah ruas jalan baru. Mengutip laporan BBC, sekitar 30.000 pekerja migran dikerahkan untuk melakukan pembangunan tersebut.
Namun, Amnesty.org mencatat jumlah pekerja lebih dari angka tersebut. Disebutkan, sekitar dua juta pekerja migran, kebanyakan dari Afrika dan Asia, merupakan sosok dibalik pembangunan stadion, metro, dan jalan tersebut.
Setelah pengundian tempat Piala Dunia dilaksanakan, eksploitasi dan pelecehan terhadap para pekerja telah merajalela. Mereka dipaksa untuk terus bekerja, dengan upah yang tidak dibayar dan jam kerja berlebihan.
Mereka juga disebut tinggal di akomodasi yang buruk, membayar mahal biaya perekrutan, gaji ditahan, dan paspor disita. Dengan kata lain, para pekerja tidak bisa pergi dari Qatar.
Sejak 2017, sebenarnya Qatar telah memiliki kebijakan untuk melindungi buruh migran. Namun, laporan Human Right Watch (HRW) mencatat laporan pada 2021 menunjukkan para pekerja masih ‘mengalami pemangkasan gaji secara ilegal’. Bahkan, ada pula mereka yang tidak dibayar sama sekali walau telah bekerja untuk waktu yang panjang.
Surat kabar The Guardian juga memberitakan sekitar 6.500 pekerja migran dari India, Pakistan, Nepal, Bangladesh, dan Sri Lanka telah meninggal sejak Qatar menjadi tuan rumah. Kelompok hak buruh FairSquare pun percaya bahwa mayoritas mereka tewas saat membangun proyek-proyek Piala Dunia. Ironisnya, kematian tersebut tidak dikategorikan sebagai kematian di tempat kerja.
Sementara itu, penyelenggara FIFA mengatakan tidak mengetahui kondisi di Qatar hingga Mei 2020. Mereka menyebut tidak ‘diberitahu secara rutin’ terkait kondisi pembangunan hingga buruh di negara tersebut.
Human Right Watch (HRW) mengatakan bahwa masalah hak asasi manusia, terutama HAM kelompok LGBT yang belum terwujud di Qatar. Baru-baru ini, kembali heboh penangkapan dan pelecehan terhadap kelompok LGBT di negara tersebut.
"Kebebasan berekspresi dan non diskriminasi berdasarkan orientasi seksual dan identitas gender harus dijamin, secara permanen, untuk semua penduduk Qatar, bukan hanya penonton yang pergi ke Qatar untuk Piala Dunia," kata HRW dalam sebuah pernyataan.
Sebagai konteks, homoseksual merupakan hal yang ilegal di negara Muslim konservatif tersebut. Akan tetapi, berbagai pemain sepak bola kembali menyuarakan keprihatinan mereka akan hak para penggemar yang termasuk dalam kelompok LGBT yang ingin bepergian untuk menonton piala dunia tahun ini.
Di samping itu, penyelenggara Piala Dunia mengatakan bahwa semua orang, terlepas dari latar belakang dan orientasi seksual dapat tetap menikmati laga secara langsung. Akan tetapi, mereka diperingatkan untuk tidak menunjukkan public display of affection (PDA).
Sebelumnya, HRW sempat mewawancarai enam individu LGBT di Qatar. Keenamnya yakni terdiri dari empat wanita transpuan, satu pria gay, dan satu wanita biseksual.
Mereka mengatakan telah ditangkap tanpa tuduhan di penjara bawah tanah. Selain itu, mereka juga dilaporkan pernah mengalami pelecehan verbal dan fisik, termasuk ditendang dan ditinju.
Paris telah memutuskan untuk tidak menyiarkan pertandingan Piala Dunia di televisi-televisinya. Hal itu terkait dari hak pekerja migran dan dampak lingkungan yang disebabkan pertandingan tersebut di Qatar.
Terkait lingkungan, hal diprotes yakni terkait dengan adanya stadion berpendingin ruangan (AC). Mereka menyebut mempertanyakan urgensi fasilitas tersebut padahal freon pada AC dapat memperparah pemanasan global.
Hal itu juga disebut merupakan pemborosan energi. Padahal, energi dunia telah mengalami krisis sebagai dampak perang Rusia-Ukraina. Banyak pula aktivis yang menyebut energi yang dipakai Qatar merupakan persediaan energi untuk musim dingin mendatang.