Hai Kawula Muda, tetap taati prokes ya!
Setelah adanya serangan varian Delta di berbagai negara di dunia, perhatian WHO kini tertuju pada varian-varian mutasi baru Covid-19 lainnya.
Di antara varian baru tersebut adalah vaian R.1. Varian ini, kini telah menyebar di Amerika Serikat (AS) selain Delta dan banyak ditemukan di panti jompo negeri itu.
Berawal dari Kentucky, varian yang masuk kategori "variants under monitoring" itu menyebar di 47 negara bagian Paman Sam.
Kendati demikian, varian R.1 belum ditetapkan sebagai variant of concern (VoC) atau variant of interest (VoI ) atau varian yang perlu perhatian khusus.
Varian R.1 adalah salah satu varian yang mengandung sejumlah mutasi, di antaranya D614G dan W152L yang terbukti meningkatkan kemampuan menular.
Artinya, varian ini diduga lebih menular dibanding varian lain. Meski demikian, masih butuh penelitian untuk memastikannya.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) mengatakan, tingkat serangan varian R.1 3-4 kali lebih tinggi di antara penduduk yang tidak divaksinasi dan profesional kesehatan.
Organisasi tersebut juga mencatat bahwa data menunjukkan, vaksin Covid-19 kemungkinan kurang efektif terhadap R.1.
CDC bahkan menemukan varian R.1 memiliki kemungkinan infeksi ulang dengan beberapa penemuan yang menunjukan kekebalan alami tubuh tidak terlalu bisa menahan varian ini.
Mantan profesor Harvard Medical School William A. Haseltine mengatakan, lima variasi yang ditemukan di R.1 dapat menyebabkan peningkatan resistensi terhadap antibodi.
Ini berarti bisa membuat varian lebih baik dalam menghindari antibodi yang dibuat dengan memiliki vaksin dan pada mereka yang sudah terinfeksi.
Menurut Amesh A. Adalja, MD, peneliti senior di Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health's Center for Health Security, varian R.1 merupakan versi virus SARS-CoV-2 yang mengalami mutasi terkait dengan perubahan fungsi dari virus.
Dengan kata lain, seperti halnya strain baru, R.1 dapat mempengaruhi orang secara berbeda dari virus versi asli.
Namun identifikasi strain baru tidak harus disikapi dengan panik. Kendati varian baru apa pun dapat menimbulkan ancaman, Adalja menilai, kecil kemungkinan varian R.1 akan menyalip varian Delta sebagai mutasi virus SARS-Cov-2 yang paling parah.
Adalja juga menekankan, seberapa merajalelanya suatu strain lebih berkaitan dengan transmisibilitasnya. Menurutnya, sangat tidak mungkin jika varian yang satu ini akan menggantikan varian Delta.
Varian R.1 pertama kali terdeteksi pada Januari 2021 pada tiga orang di satu keluarga di Jepang. Di antara mereka berusia 40 tahun dan 10 tahun.
Saat ini varian ini juga terdeteksi di China, India dan Eropa bagian Barat. Per 21 September, dilaporkan ada 10.567 kasus R.1 terdeteksi di seluruh dunia.
Sejauh ini ini varian R.1 hanya menyumbang 0,5 persen dari kasus Covid-19 di AS dan di seluruh dunia.
Menurut Ramon Lorenzo Redondo, PhD, asisten profesor peneliti penyakit menular di Fakultas Kedokteran Universitas Feinberg Northwestern, mutasi R.1 yang ditemukan di AS belum diurutkan, atau diidentifikasi secara genetik.
"Versi virus ini tidak pernah menyumbang lebih dari 1 persen kasus di seluruh dunia, bahkan pada puncaknya," kata Redondo.