Kawula Muda, mari saling mendukung dan tetap optimistis menghadapi pandemi yang tengah melanda dunia ini.
Dengan harapan tinggi untuk bisa segera meredakan krisis global, lebih dari 150 vaksin virus corona sedang dalam pengembangan di seluruh penjuru dunia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengoordinasikan upaya pengembangan vaksin ini, dengan target untuk memberikan dua miliar dosis pada akhir 2021.
Biasanya dibutuhkan waktu 10 sampai 15 tahun untuk membawa vaksin ke pasar. Terdengar sangat lama, tetapi memang demikian panjang proses yang harus dilewati.
Vaksin melalui proses uji klinis multi-tahap, yang dimulai dengan memeriksa keamanannya, apakah vaksin tersebut memicu respons kekebalan pada sekelompok kecil manusia yang sehat.
Fase kedua memperluas kelompok pengujian untuk menyertakan kelompok orang yang mungkin mengidap penyakit dan memiliki kemungkinan untuk tertular, demi mengukur keefektifan vaksin.
Fase ketiga memperluas kelompok hingga ribuan orang untuk memastikan vaksin itu aman dan efektif di antara orang-orang yang lebih luas, mengingat bahwa respons kekebalan dapat bervariasi berdasarkan usia, etnis, atau kondisi kesehatan yang mendasarinya.
Ini kemudian masuk ke badan pengatur dan pengawas untuk mendapatkan persetujuan. Hal ini pun bisa menjadi proses yang tak kalah panjang.
Bahkan setelah disetujui, vaksin menghadapi potensi hambatan dalam hal produksi dan distribusinya.
Dari tuntutan meningkatkan produksi untuk memenuhi permintaan, hingga memutuskan populasi mana yang harus mendapatkannya terlebih dahulu, termasuk menetapkan berapa biayanya.
Namun, para pengembang vaksin mencoba untuk mempersingkat proses tersebut untuk SARS-CoV-2 dengan menjalankan fase uji klinis secara bersamaan.
Dikutip dari nationalgeographic.com, berikut ini sekilas prospek vaksin yang berhasil mencapai fase ketiga bahkan lebih.
Pfizer adalah salah satu perusahaan farmasi terbesar di dunia yang berbasis di New York, Amerika Serikat.
Bekerja sama dengan perusahaan bioteknologi Jerman, BioNTech, mereka mengembangkan vaksin mRNA berdasarkan upaya perusahaan Jerman sebelumnya untuk menggunakan teknologi tersebut dalam vaksin kanker eksperimental.
Pada 27 Juli 2020, Pfizer dan BioNTech meluncurkan uji coba yang menggabungkan fase dua dan tiga dengan mendaftarkan populasi yang beragam di daerah dengan penularan SARS-CoV-2 yang signifikan.
Hal ini akan memeriksa efek vaksin pada 30.000 orang dari 39 negara bagian AS serta dari Brasil, Argentina, dan Jerman.
Perusahaan biofarmasi China, Sinovac, bekerja sama dengan pusat penelitian Brasil, Butantan, menggunakan versi virus corona yang tidak menular. Meskipun patogen yang tidak aktif tidak dapat lagi menghasilkan penyakit, mereka masih dapat memicu respons imun, seperti pada vaksin influenza tahunan.
Pada 3 Juli 2020, badan pengatur Brasil memberikan persetujuan kandidat vaksin ini untuk melanjutkan ke fase ketiga, sambil terus memantau hasil uji klinis fase kedua.
Hasil awal pada monyet yang diterbitkan dalam Science, mengungkapkan bahwa vaksin tersebut menghasilkan antibodi yang menetralkan 10 galur SARS-CoV-2.
Sinovac juga telah merilis hasil pracetak dari uji coba fase kedua pada manusia yang juga menunjukkan vaksin tersebut menghasilkan antibodi tanpa reaksi merugikan yang parah.
Tahap ketiga akan merekrut hampir 9.000 profesional perawatan kesehatan di Brasil. Sinovac juga melakukan uji coba fase ketiga di Indonesia, bekerja sama dengan perusahaan farmasi lokal Biofarma.
Universitas ternama di Inggris ini, bekerja sama dengan perusahaan biofarmasi AstraZeneca, mengembangkan apa yang dikenal sebagai vaksin vektor virus.
Hasil awal dari dua fase uji klinis pertama kandidat ini mengungkapkan bahwa vaksin telah memicu respons imun yang kuat, termasuk peningkatan antibodi dan respons dari sel-T, dengan hanya efek samping ringan seperti kelelahan dan sakit kepala.
Sekarang telah dipindahkan ke uji klinis fase ketiga, yang bertujuan untuk merekrut hingga 50.000 sukarelawan di Brasil, Inggris Raya, Amerika Serikat, dan Afrika Selatan.
Lembaga penelitian kesehatan anak terbesar di Australia, bekerja sama dengan University of Melbourne sedang menyelidiki dan mengembangkan apakah vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) yang selama ini digunakan untuk pencegahan tuberkolosis juga dapat meluas ke SARS-CoV-2. Uji coba ini telah mencapai fase ketiga di Australia.
Perusahaan biofarmasi asal China ini juga mengembangkan vaksin vektor virus, menggunakan versi adenovirus yang dilemahkan sebagai sarana untuk memasukkan protein lonjakan SARS-CoV-2 ke dalam tubuh.
Hasil awal dari uji coba fase kedua, yang diterbitkan di The Lancet, telah menunjukkan bahwa vaksin tersebut menghasilkan tanggapan kekebalan yang signifikan di sebagian besar penerima setelah imunisasi tunggal.
Tidak ada reaksi merugikan yang serius yang didokumentasikan. Meskipun secara teknis perusahaan masih dalam tahap kedua uji coba, pada 25 Juni 2020, CanSino menjadi perusahaan pertama yang menerima persetujuan terbatas untuk menggunakan vaksinnya pada manusia.
Pemerintah China telah menyetujui vaksin untuk penggunaan militer saja, untuk jangka waktu satu tahun. Pada 15 Agustus 2020, perusahaan biofarmasi Rusia Petrovax mengumumkan telah meluncurkan uji klinis tahap ketiga Ad5-nCoV.
Lembaga penelitian Rusia ini telah mengembangkan vaksin vektor virus yang juga menggunakan versi lemah dari adenovirus penyebab flu biasa untuk memperkenalkan protein lonjakan SARS-CoV-2 ke tubuh.
Vaksin ini menggunakan dua jenis adenovirus, dan membutuhkan suntikan kedua setelah 21 hari untuk meningkatkan respons kekebalan. Rusia belum memublikasikan data apa pun dari uji klinisnya, tetapi para pejabat di lembaga tersebut menyatakan bahwa mereka telah menyelesaikan tahap pertama dan kedua.
Para peneliti juga mengklaim vaksin tersebut menghasilkan antibodi yang kuat dan respons imun seluler.
Meskipun kurangnya bukti yang dipublikasikan, Rusia mengklaim vaksin Sputnik V sebagai vaksin Covid-19 terdaftar pertama di pasar. Rusia melaporkan bahwa mereka akan memulai uji klinis fase ketiga pada 12 Agustus 2020.