Kawula Muda, akhirnya ada angin segar untuk demokrasi!
Presiden RI Joko Widodo menyatakan rencana revisi kembali UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Menurut Jokowi, UU ITE harusnya dapat menjaga ruang digital Indonesia agar bersih, sehat, beretika, dan bisa dimanfaatkan secara produktif. Namun, nyatanya dalam implementasinya, UU ITE menimbulkan rasa ketidakadilan di tengah masyarakat Indonesia.
Masyarakat Indonesia kerap melaporkan banyak hal yang menjadikan UU ITE sebagai rujukan hukumnya. Jokowi juga menambahkan bahwa pasal-pasal yang terkandung dalam undang-undang tersebut kerap menimbulkan multitafsir.
“Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta kepada DPR merevisi undang-undang ini, karena di sinilah hulunya, revisi,” ungkap Jokowi dalam Rapat Pimpinan TNI-Polri Tahun 2021 di Istana Negara, Jakarta.
Jokowi memerintahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan jajarannya untuk lebih selektif terhadap pasal yang kerap membuat multitafsir dan dalam menerima laporan-laporan yang masuk.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menyatakan bahwa meskipun UU ITE dibuat karena banyaknya usulan dari masyarakat, apabila saat ini penerapan UU tersebut tidak baik maka pemerintah akan meminta DPR untuk merevisi.
“Jika sekarang UU tersebut dianggap tidak baik dan memuat pasal-pasal karet mari kita buat resultante baru dengan merevisi UU tersebut. Bagaimana baiknyalah, ini kan demokrasi,” kata Mahfud Md.
Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, mengatakan bahwa terdapat dua pasal karet yang harus dihapus dari UU ITE yaitu Pasal 27 ayat 3 yang mengatur permasalahan pencemaran nama baik dan Pasal 28 ayat 2 yang mengatur permasalahan ujaran kebencian berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Pasal-pasal ini dianggap mengaburkan substansi undang-undang yang dibuat dengan semangat mengatur bisnis dan perdagangan melalui jaringan internet.
Menurut Direktur Indonesia Information and Communication Technology Institute Heru Sutadi, UU ITE sebaiknya direvisi secara total karena sebelumnya sudah pernah direvisi dan banyak masyarakat masuk ke penjara karena pasal di UU tersebut yang ditafsirkan seenaknya.
UU ITE dapat berdampak pada bidang politik maupun sosial. Direktur Eksekutif SAFEnet (Southeast Asia Freedom of Expression Network) Damar Juniarto menjelaskan bahwa dampak politik UU ITE dapat menimbulkan politisi atau kekuasaan memakainya untuk menjatuhkan lawan.
Sementara dampak sosial dari UU ITE ini dapat merobek jalinan sosial karena dengan UU ini, masyarakat lebih mudah melaporkan orang lain dengan berbagai motif seperti balas dendam, barter kasus, efek terapi kejut, hingga mempersekusi orang yang berbeda pendapat.
Lembaga tergabung seperti Koalisi Masyarakat Sipil mendukung rencana Jokowi akan revisi UU ITE. Koalisi Masyarakat Sipil, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH), dan beberapa pengamat lainnya juga berharap bahwa Jokowi dapat membuktikan ucapannya dan tidak hanya sebatas retorika politik sementara.
“Presiden harus secepatnya mengusulkan revisi UU ITE ke DPR dengan serius. Saya harap supaya polisi lebih hati-hati dan adil dalam menerapkan UU ITE, termasuk di berbagai UU pidana lain,” ujar Direktur LBH Arif Maulana.
“Kalau batal siap enggak pemerintah dicaci maki. Kalau pemerintah baper, susah juga,” ujar pengamat politik dari Universitas Bung Karno, Pangi Syarwi Chaniago.