Kondisi perekonomian negara berikut berada di posisi sangat rentan
Negara Sri Lanka sedang mengalami krisis ekonomi terburuknya. Tetapi bukan hanya Sri Lanka, beberapa negara juga terancam bangkrut akibat terlilit utang luar negeri serta mengalami konflik di dalam negeri.
Masyarakat menjadi kesulitan dengan biaya hidup yang melonjak tinggi, mulai dari makanan, bahan bakar, sampai biaya listrik. Ditambah dengan adanya pandemi Covid-19 dan perang Rusia-Ukraina yang berdampak kepada perekonomian suatu negara. Berikut beberapa negara yang diprediksi mengalami kebangkrutan.
Sejak Taliban mengambil alih saat Amerika Serikat beserta sekutunya menarik mundur pasukannya, Afghanistan harus mengalami krisis ekonomi yang bisa dibilang mengerikan. Bantuan asing yang dulu selalu menolong kebutuhan sekarang tidak lagi didapat. Sekitar 39 juta warga Afghanistan harus menghadapi rawan pangan. Bahkan beberapa orang harus bekerja tanpa gaji selama berbulan-bulan. Ditambah dengan gempa bumi yang akhir-akhir ini terjadi menewaskan 1.000 orang.
Pada bulan April, tingkat inflasi di Mesir mencapai 15 persen yang membuat sepertiga dari jumlah penduduknya mengalami kemiskinan. Negara dengan 103 juta penduduk ini menderita akibat reformasi ambisius dalam penghematan pemerintahan yang memotong subsidi untuk bahan bakar, air, dan listrik. Kemudian bank sentral menaikkan suku bunga guna menahan laju inflasi serta mendevaluasi mata uang. Tentunya hal ini mempersulit Mesir untuk membayar utang luar negeri.
Negara yang dikelilingi daratan Asia Tenggara ini awalnya mengalami pemulihan ekonomi tercepat pasca pandemi Covid-19. Namun, pandemi juga yang membuat negara ini memiliki utang yang melonjak tinggi. Hal ini membuat Laos memohon untuk restrukturisasi utangnya yang mencapai miliaran dolar AS. Cadangan devisa yang dimiliki Laos juga tersisa dua bulan impor saja, sehingga mata uangnya turun 30 persen.
Mata uang Lebanon turun hingga mencapai 90 persen, sampai tingkat inflasi yang memperparah krisis ekonomi negara ini. Tingkat kelaparan dan kebutuhan bahan bakar yang meningkat semakin sulit diatasi akibat perang saudara yang juga terjadi di wilayah ini. Lebanon gagal membayar utang mereka yang mencapai 90 miliar dolar AS pada tahun 2019. Hingga di bulan Juni 2021, mata uang Lebanon sudah kehilangan 90 persen dari nilai aslinya.
Setelah aksi kudeta militer kepada pemerintahan Aung San Suu Kyi yang terjadi pada Februari 2021 semakin mengguncang perekonomian Myanmar. Kudeta memicu penarikan bisnis secara besar-besaran dan sanksi dari negara-negara barat. Akibat hal itu juga yang membuat hampir 700 ribu orang kabur dari rumah untuk menghindari konflik bersenjata dan kekerasan politik yang kerap terjadi. Situasi yang semakin kacau membuat bank dunia tidak mengeluarkan proyeksi bagi Myanmar untuk tahun 2022-2024.
Pakistan mengalami inflasi yang mencapai 21 persen sehingga harga minyak mentah dan bahan bakar melonjak naik. Mata uang mereka yaitu rupee sudah turun sekitar 30 persen terhadap mata uang dolar AS sejak tahun lalu. Ditambah dengan cadangan devisa Pakistan hanya sejumlah 13,5 miliar dolar AS atau sekitar dua bulan impor saja. Pakistan pun berusaha memperjuangkan dana talangan dari IMF sejak pemerintahan Perdana Menteri Imran Khan diturunkan.
Meskipun terkenal sebagai tujuan wisata, nyatanya tingkat inflasi di Turki sudah mencapai 60 persen. Sejak tahun lalu penurunan mata uang Turki, lira berada di peringkat rendah terhadap euro dan dolar AS. Pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan tampaknya gagal mengeluarkan Turki dari krisis ekonomi melalui kebijakan pemotongan pajak dan subsidi bahan bakar. Turki sendiri sudah memiliki utang luar negeri yang mencapai 54 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) negaranya.
Apabila negara-negara di atas tidak berhasil menangani krisis ekonomi yang mereka alami. Mereka dapat menghadapi krisis ekonomi yang lebih parah sampai dinyatakan sebagai negara yang mengalami kebangkrutan.