Lo pernah ngalamin kejadian serupa gak, Kawula Muda?
Seorang pengguna jasa penerbangan mengeluhkan harga taksi di Bandara Halim Perdanakusuma. Hal itu Sylvi Kartika ceritakan lewat media sosial Twitter.
Dalam cuitannya tersebut, Sylvi menyebut hanya memiliki tiga pilihan kendaraan saat turun dari Bandara Halim. Ketiganya yakni Taksi Puskopau, Grab Puskopau, dan Gojek Puskopau.
Tak hanya mempertanyakan mengapa tidak ada pilihan Taksi Bluebird di bandara tersebut, Sylvi juga tidak memahami alasan harga transportasi bandara yang mahal serta keharusan bagi penumpang untuk membayar surcharge sebesar Rp 15.000.
“Bluebird ga ada. Semua yg ada puskopau ini harganya mark-up. HLP - rumah gw itu kisaran 60an - 80an. Grab gw 118. Udah gitu penumpang disuruh bayar lagi surcharge 15K,” tulisnya.
Pada akhir utasnya, Sylvi pun turut mempertanyakan hal tersebut kepada beberapa pihak, yakni Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Puskopau Halim, serta Dinas Perhubungan DKI Jakarta.
“I don't know artinya premanisme secara harfiah. Tapi ini masyarakat kaya dipaksa bayar dr segala sisi, bayar mark-up harga taksi, bayar surcharge lagi. Kita juga bayar maskapai yg udah termasuk service bandara,” tambahnya.
Menurutnya, jika tujuan dari kenaikan harga transportasi tersebut adalah untuk maintenance bandara, semestinya biaya tersebut dibebankan kepada maskapai. Misalnya lewat tiket penumpang.
Selvie turut membandingkan hal yang ia alami di Bandara Halim tersebut dengan Bandara Soekarno Hatta. Walau sama-sama mendapat surcharge, ia mengaku masih terdapat opsi Blue Bird di bandara tersebut dengan harga normal.
“I paid the driver sesuai kok, gw masih mampu. Tapi keluhan gw ini cuma keluhan warga yg mau pelayanan publik itu lbh baik, bukan berarti gw harus jalan keluar dulu Sil, no. Kita punya KPPU yang mengatur tentang monopoli usaha, katanya negara hukum. So lets use that as the basis,” tulis Sylvi.
Ia pun menambahkan bahwa perjalanan udara tidak sama dengan orang kaya. Karena itu, pelayanan transportasi publik sudah seharusnya dapat dijangkau (termasuk dalam hal finansial) oleh seluruh pihak.
Bandara merupakan tempat umum. Karena itu, siapa pun seharusnya memiliki hak untuk menjangkau bandara dengan tarif yang inklusif. Akses bandara bisa saja dijangkau oleh para miliarder, tetapi tidak dapat dibayar oleh para anak sekolah, mereka yang berobat, mereka yang pulang kampung dengan dana terbatas, hingga tujuan berkabung.
“Jika transportasi lbh mahal, sgt tdk adil bg mereka.”
Melalui keterangan pers yang Prambors kutip dari Kompas, Bandara Halim Perdanakusuma menegaskan tidak pernah mempraktikkan monopoli operasional taksi bandara.
Mereka mengklaim operasional sudah berjalan sesuai dengan Surat Keputusan (Skep) Dewan Pimpinan Pusat Organisasi Angkutan Darat (DPP Organda) DKI Jakarta Tahun 2022. Hal itu pun dijelaskan oleh Ketua Pusat Koperasi (Kapuskop) Lanud Halim Perdanakusuma Jakarta, Mayor Pnb Ali Ngimron.
“Tarif taksi reguler maupun aplikasi daring sudah disesuaikan dengan tarif taksi bandara yang berlaku, berdasarkan keputusan DPP Organda tentang Penetapan Penyesuaian Tarif Angkutan Umum Taksi di Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi,” terang Ali.
Sementara untuk surcharge atau biaya tambahan, besarannya sudah sesuai dengan ketetapan hasil rapat bersama antara Puskopau Halim, PT Angkasa Pura II, dan PT ATS.
“Penggunaannya untuk mendukung operasional taksi bandara, untuk pelayanan dibebaskan biaya parkir, penggajian pegawai, perawatan kebersihan, dan ketertiban area perparkiran di bandara,” tambahnya.