Baca selengkapnya di bawah!
Perdana Menteri Australia, Anthony Albanese, sedang menyusun kebijakan baru yang berfokus pada pembatasan akses sosial media bagi anak di bawah umur, Kawula Muda.
Langkah ini bertujuan untuk melindungi generasi muda dari dampak negatif yang mungkin timbul dari penggunaan sosial media di usia yang terlalu dini.
Dengan rencana tersebut, Australia akan menjadi pelopor dalam memberlakukan aturan usia minimum untuk mengakses platform media sosial secara ketat.
Albanese mengungkapkan preferensinya secara terbuka, yakni memblokir akses anak-anak di bawah usia 16 tahun agar tidak dapat membuat akun atau menggunakan sosial media.
Menurutnya, perlindungan terhadap anak-anak dalam lingkungan digital menjadi semakin penting, mengingat banyaknya risiko yang dapat mempengaruhi perkembangan mereka, seperti cyberbullying, paparan konten yang tidak sesuai, serta masalah kesehatan mental yang berkaitan dengan penggunaan sosial media.
Langkah ini tentu memicu diskusi hangat di kalangan masyarakat, khususnya mengenai bagaimana aturan ini akan diterapkan, serta dampaknya terhadap kebebasan berinternet bagi kalangan muda.
"Saya ingin melihat anak-anak meninggalkan gawai mereka dan bermain di lapangan sepak bola, kolam renang, dan lapangan tenis," ucap Albanese, dikutip dari Reuters, Kamis (12/09/2024).
"Kami ingin mereka memiliki pengalaman nyata dengan orang-orang nyata karena kami tahu bahwa media sosial menyebabkan kerusakan sosial," ujarnya.
Undang-undang federal untuk membatasi akses sosial media bagi anak-anak akan segera diperkenalkan tahun ini.
Sebagai langkah awal, Albanese mengatakan bahwa pemerintah akan melakukan uji coba sistem verifikasi usia dalam beberapa bulan mendatang.
Meskipun usia minimum untuk mengakses platform seperti Facebook, Instagram, dan TikTok belum ditetapkan, diperkirakan akan berada di rentang 14 tahun hingga 16 tahun.
Langkah ini diambil setelah regulator eSafety Australia pada bulan Juli mendesak perusahaan internet untuk membuat kode etik yang bisa melindungi anak-anak dari akses ke konten pornografi dan materi yang tidak sesuai. Jika perusahaan gagal mematuhinya, pemerintah akan memberlakukan aturan ketat pada industri tersebut.
Di sisi lain, kebijakan ini menuai kritik karena dianggap membatasi hak anak muda dalam berekspresi dan berpotensi menimbulkan masalah privasi.
Beberapa pihak khawatir bahwa dengan menerapkan aturan ini, data pribadi anak-anak bisa menjadi lebih rentan terhadap penyalahgunaan, terutama dalam proses verifikasi usia.
Namun, Perdana Menteri Anthony Albanese tetap teguh pada pandangannya. Ia menjelaskan bahwa banyak orang tua yang merasa kewalahan dengan tingginya keterlibatan anak-anak mereka di media sosial.
Kebijakan ini, menurut Albanese, adalah langkah pemerintah untuk memberikan panduan yang jelas dan perlindungan yang lebih baik bagi anak-anak.
Ia juga menambahkan bahwa penggunaan sosial media yang berlebihan pada anak-anak telah menjadi perhatian besar, terutama karena pengaruh negatifnya terhadap kesehatan mental dan fisik anak-anak.
Lebih lanjut, ia berharap kebijakan ini dapat menciptakan keseimbangan antara dunia digital dan dunia nyata bagi generasi muda.
Dengan pembatasan usia minimum, anak-anak diharapkan dapat lebih fokus pada aktivitas fisik dan sosial di luar layar gadget.
Ke depan, Albanese berharap kebijakan ini bisa mendorong perusahaan media sosial untuk lebih bertanggung jawab dalam menjaga keamanan pengguna mereka, terutama anak-anak.