Kawula Muda, Rusia diminta hentikan serangan demi mengamankan situasi ledakan terparah yang pernah terjadi di Chernobyl.
Pada Jumat (4/3/2022), Rusia melancarkan serangan ke pembangkit nuklir (PLTN) terbesar di Ukraina dan Eropa, Zaporizhzhia. Pembangkit ini terletak di wilayah Ukraina Tenggara.
Dalam sebuah keterangan, Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba mengatakan serangan ini mampu membawa dampak yang sangat berbahaya.
Bahkan, efek dari serangan ini dapat memancing bencana nuklir yang 10 kali lipat lebih besar dari apa yang terjadi di Chernobyl pada 1986 lalu.
Melansir dari CNNIndonesia, PLTN Zaporizhzhia dan Chernobyl sama-sama memiliki enam unit. Walaupun demikian, kapasitas untuk membangkitkan listrik di dua titik tersebut berbeda.
PLTN Zaporizhzhia mampu membangkitkan energi listrik hingga 6.000 megawatt. Jumlah ini jauh lebih besar dibandingkan dengan PLTN Chernobyl, yang hanya mampu membangkitkan listrik hingga 1.000 megawatt, dikutip dari Britannica.
PLTN Zaporizhzhia dan Chernobyl sama-sama dibangun kala zaman Uni Soviet. Namun, nasib tragis menimpa PLTN Chernobyl.
Pada 26 April 1986, reaktor nuklir RBMK no.4 di PLTN Chernobyl mengalami kegagalan uji coba, yang kemudian berujung pada ledakan dan kebakaran di wilayah tersebut. Akibat ledakan ini, sebanyak dua pekerja meninggal dunia.
Tiga bulan setelahnya, sebanyak 28 pemadam kebakaran dan pekerja darurat meninggal dunia akibat terpapar radiasi dan serangan jantung. Tidak hanya itu, sekitar 200 ribu orang disebut harus dievakuasi akibat insiden serangan Chernobyl.
Daerah yang berjarak 30 kilometer dari lokasi ledakan menjadi 'zona eksklusif' dan tak dapat dihuni akibat radiasi nuklir.
Tak hanya PLTN Chernobyl, PLTN Fukushima di Jepang juga pernah mengalami 'bencana' nuklir pada 2011. Kecelakaan tersebut merupakan kecelakaan nuklir terburuk kedua setelah Chernobyl, dikutip dari Britannica.
Kala kecelakaan itu terjadi, PLTN Fukushima memiliki empat reaktor, tetapi hanya tiga yang berfungsi. PLTN ini dioperasikan oleh Tokyo Electric and Power Company (TEPCO).
Saat insiden ini terjadi, pejabat TEPCO melaporkan tsunami yang muncul akibat gempa 11 Maret 2011 di Jepang merusak generator nuklir di PLTN Fukushima Daiichi. Meski ketiga reaktor di PLTN tersebut berhasil dimatikan, mati listrik yang terjadi menyebabkan kegagalan sistem pendingin reaktor.
Akibatnya, peningkatan suhu yang terjadi di inti reaktor membuat batang bahan bakar di reaktor 1, 2, dan 3 menjadi terlalu panas dan sebagian dari mereka meleleh. Pelelehan ini menimbulkan pelepasan radiasi yang besar dan berujung pada ledakan.
Pemerintah Jepang kemudian memberlakukan zona 'eksklusif' sepanjang 30 km di sekitar fasilitas tersebut. Tak hanya itu, sekitar 47 ribu penduduk dievakuasi akibat bencana ini.
Mengutip BBC, sebanyak 16 pekerja terluka akibat ledakan yang terjadi. Selain itu, puluhan lainnya terpapar radiasi kala berupaya mendinginkan reaktor nuklir dan menstabilkan PLTN ini.
Sebanyak tiga orang dilaporkan masuk ke rumah sakit setelah mengalami paparan nuklir yang tinggi.
Pada 2018, pemerintah Jepang mengumumkan satu pekerja meninggal dunia karena terpapar radiasi dan setuju keluarganya perlu dikompensasi.
Sejumlah orang juga dilaporkan tewas saat evakuasi, termasuk puluhan pasien rumah sakit yang harus mengungsi karena takut terpapar radiasi.