Dua hal utama yang jadi penyebab kematian penonton di Stadion Kanjuruhan.
Pintu Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur menjadi saksi hilangnya nyawa supporter pesepak bola Indonesia. Tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada Sabtu, 1 Oktober 2022 malam, membuat publik bertanya mengapa pintu 13 tertutup rapat saat kehebohan terjadi.
Dilansir dari CNN Indonesia, Jumat (07/10/2022), Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo mengatakan, sebanyak 6 pintu yang menjadi titik paling banyak korban berjatuhan dalam kondisi tertutup.
Hal tersebut dilihat dengan mendalami gambar yang terekam oleh kamera pengawas (CCTV). "Masih mendalami 6 titik CCTV. Kenapa 6 titik yang didalami karena hasil analisa sementara di sini titik jatuh korban cukup banyak," terang Dedi.
Sementara itu, Komisi Disiplin (Komdis) PSSI menemukan terjadinya ketelatan komando terkait penyebab tertutupnya pintu keluar masuk.
"Ketelatan komando yang dikomandoi yang disuruh buka pintu di sebalah sana (pintu 13) belum melaksanakan pembukaannya itu alasannya," terang Anggota Komite Eksekutif PSSI, Ahmad Riyadh, mengutip dari Kompas.
Menurutnya, security officer Arema FC, Suko Sutrisno lalai dalam bertugas. PSSI pun menjatuhkan hukuman berat kepada dirinya.
Suko ditugaskan untuk memegang kunci pintu 13 Stadion Kanjuruhan, sayang, ia telat memberikan perintah untuk membuka menyelamatkan para korban.
Para suporter berhamburan turun ke lapangan usai kekalahan yang harus diterima Arema FC saat melawan Persebaya di kandang sendiri.
Polisi yang berada di lapangan menembakkan gas air mata ke lapangan dan juga ke tribune, yang membuat penumpukan massa terjadi di pintu keluar.
Dilansir dari media luar, The Washington Post, seorang profesor di Universitas Keele di Inggris bernama Clifford Stott, mempelajari kasus ini. Berdasarkan gambar yang terlihat, arah angin gas air mata berhembus ke arah tribune. Dengan tribune 11, 12, 13 yang memiliki dampak paling parah dari gas air mata yang terbawa hembusan angin malam itu.
Ia mengatakan, tragedi Kanjuruhan adalah akibat langsung dari tindakan polisi sekaligus manajemen stadion yang buruk. Bersama dengan pakar pengendalian massa lainnya, dan empat pembela hak sipil, Clifford berkata, penggunaan gas air mata oleh polisi tidak proporsional.
"Menembakkan gas air mata ke tribune penonton saat gerbang terkunci kemungkinan besar tidak akan menghasilkan apa-apa selain korban jiwa dalam jumlah besar," katanya. "Dan itulah yang terjadi."
Kerusuhan terjadi setelah pertandingan selesai sekitar pukul 21.45, di mana penonton langsung memadati lapangan.
Dua menit setelah para pemain dikawal keluar lapangan, petugas keamanan yang menjaga pintu keluar mulai mendorong mundur kerumunan, membubarkan para penggemar. Di sinilah kekacauan makin meningkat.
Polisi telah melanggar protokol FIFA di mana tidak boleh mengeluarkan gas air mata di dunia sepak bola sebagai pengendali massa. Namun, mereka malah melemparkan kepada para supporter.
The Washington Post menulis, tidak lama setelah pertandingan berakhir, polisi menembakkan setidaknya 40 amunisi mematikan ke penggemar baik di lapangan atau di tribune dalam rentang waktu 10 menit. Sebagian besar gas melayang menuju bagian tempat duduk, atau tribune 11, 12 dan 13.
Amunisi tersebut berupa gas air mata, flash bang, dan flare.