Hai Kawula Muda, jangan lupa taati protokol kesehatan 3M agar tidak terpapar Covid-19 ya!
Setelah sebelumnya ditemukan anosmia atau kehilangan kemampuan mencium bau dan merasakan rasa sebagai salah satu gejala Covid-19, belakangan muncul gejala baru yang disebut parosmia, yaitu kondisi yang membuat pasien susah mengidentifikasi bau.
Parosmia adalah gejala halusinasi mencium bau menyengat seperti bau ikan yang amis, belerang, dan bau manis yang tidak enak.
Melansir Sky News, Minggu (28/12/2020), parosmia patut diduga sebagai gejala virus corona tahap lanjutan.
Ahli bedah telinga, hidung dan tenggorokan (THT) Inggris di Edge Hill University Medical School, Profesor Nirmal Kumar, menyebutkan bahwa gejala parosmia atau distorsi penciuman sebagai sesuatu yang sangat aneh dan unik.
Menurut Profesor Kumar, virus ini memiliki keterkaitan dengan saraf di kepala dan khususnya saraf yang mengontrol indra penciuman. Bahkan, mungkin juga memengaruhi saraf lain, seperti neurotransmiter yang mengirim pesan ke otak.
Profesor Kumar adalah petugas medis pertama yang mengidentifikasi gejala anosmia atau hilangnya penciuman sebagai indikator virus corona pada Maret 2020.
Ia juga yang mendesak Kesehatan Masyarakat Inggris untuk menambahkan anosmia ke dalam daftar gejala Covid-19. Hingga kemudian, Kumar kembali menemukan di antara ribuan pasien yang dirawat karena anosmia jangka panjang di seluruh Inggris, beberapa mengalami parosmia.
Mengutip Healthline, gejala parosmia adalah halusinasi penciuman atau terjadi distorsi indra penciuman. Sayangnya, Sebagian besar baunya tidak menyenangkan dan mengganggu kualitas hidup pasien.
Dalam kasus yang parah, parosmia dapat menyebabkan pengidapnya merasa sakit secara fisik saat mendeteksi bau yang kuat dan tidak sedap.
Gejala utama parosmia adalah merasakan bau busuk yang terus menerus, terutama pada makanan, akibar kerusakan neuron penciuman.
Parosmia biasanya terjadi setelah neuron pendeteksi bau di hidung rusak karena terinfeksi virus maupun kondisi kesehatan lainnya. Kerusakan neuron ini mengubah penafsiran bau yang diterima bulbus olfaktorius di mana fungsinya adalah untuk penciuman, sensitivitas deteksi bau, atau menyaring bau.
Selain karena virus, parosmia juga disebabkan beberapa hal di antaranya cedera kepala, paparan asap rokok dan bahan kimia, efek samping pengobatan kanker, dan tumor.
Parosmia dapat didiagnosis oleh ahli THT yang mungkin memberikan zat berbeda lalu meminta pasien menjelaskan aromanya dan menentukan peringkat kualitasnya.
Beberapa hal juga akan diperiksa dokter termasuk Riwayat kanker dan kondisi neurologis keluarga, infeksi yang baru dirasakan, gaya hidup, dan konsumsi obat-obatan.
Pengujian lebih lanjut melalui rontgen sinus, biopsy daerah sinus, atau MRI juga mungkin dilakukan.
Pada beberapa kasus parosmia dapat diobati, namun tidak semua. Jika parosmia disebabkan oleh faktor lingkungan, pengobatan kanker, atau merokok, kemampuan mencium dapat kembali normal setelah pemicunya dihilangkan.
Terkadang pembedahan diperlukan untuk mengatasi parosmia. Perawatan untuk parosmia meliputi penjepit hidung untuk mencegah bau masuk ke hidung, konsumsi zinc, vitamin A, dan antibiotik.
Beberapa orang dengan parosmia menemukan gejalanya mereda dengan melatih penciuman melalui berbagai aroma setiap pagi. Meski begitu, pemeriksaan dokter dianjurkan guna mengobati kondisi ini.
Kondisi parosmia biasanya tidak permanen. Neuron dapat membaik seiring berjalannya waktu. Waktu pemulihannya pun berbeda sesuai dengan penyebab, gejala, dan pengobatan yang dijalani.
Jika parosmia disebabkan oleh virus atau infeksi, indra penciuman dapat kembali normal tanpa pengobatan. Namun pemulihannya membutuhkan waktu antara dua hingga tiga tahun.
Sebuah penelitian pada 2009 menunjukkan bahwa 25 persen orang yang melatih penciuman semalam 12 minggu dapat mengurangi gejala parosmia mereka. Tetapi perlu ada lebih banyak penelitian mendalam untuk memahami apakah jenis perawatan tersebut efektif.