Kenapa ya kira-kira?
Kondisi perdagangan ritel Indonesia dikabarkan berada dalam kondisi kritis, Kawula Muda.
Berbagai masalah dan kondisi yang terjadi akhir-akhir ini seperti proses perijinan yang membutuhkan waktu bertahun-tahun atau maraknya praktik impor barang secara ilegal telah memporak-porandakan perdagangan ritel dalam negeri.
Pernyataan yang memprihatinkan ini dikeluarkan oleh Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia, Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), dan HIPPINDO (Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia) serta 15 Asosiasi (Ritel dan Ekosistemnya) dalam konferensi pers yang diselenggarakan sebelum Musyawarah Nasional II HIPPINDO di Jakarta.
Kondisi seperti ini tidak dapat dibiarkan berlarut-larut mengingat perdagangan ritel adalah sektor yang selama ini telah menjadi tulang punggung bagi perekonomian Indonesia.
Data menunjukkan sektor konsumsi rumah tangga (HHC atau Household Consumption) berkontribusi 51.87% terhadap GDP pada tahun 2022. Juga perlu diingat bahwa sektor ritel pada dasarnya baru pulih setelah pandemi Covid 19, sehingga memerlukan bantuan dari peraturan-peraturan yang tidak akan menghambat upaya untuk bangkit kembali.
“Di lapangan masih banyak fakta yang bisa dijadikan contoh betapa bisnis ritel masih belum mendapat dukungan maksimal dari pemerintah. Sebagai contoh pendirian 1 toko supermarket ataupun sebuah mall memerlukan perizinan sekitar lebih dari 50 perizinan sehingga proses ekspansi menjadi sangat lambat dibandingkan negara tetangga lainnya, seperti Vietnam dan Kamboja. Sebuah mall ternama yang dalam 8 tahun melakukan ekspansi ke Negara ASEAN, terbukti hanya bisa mendirikan 5 mal saja di Indonesia, tertinggal jauh dibandingkan di Vietnam yang berhasil mendirikan 30 mal, dan di Kamboja sebanyak 10 mal,” kata Budihardjo Iduansjah, Ketua Umum HIPPINDO.
Budihardjo menambahkan, bahkan mempertegas lebih lanjut dengan mengatakan investasi yang seharusnya masuk ke Indonesia malah masuk ke negara lain.
“Banyak investasi yang seharusnya bisa masuk ke Indonesia akhirnya berpindah misalnya ke Vietnam karena regulasinya lebih pro investasi.Sebuah Department Store ternama di Asia, hanya berhasil membuka 1 toko saja dalam kurun 8 tahun, sementara dalam waktu yang sama berhasil mendirikan 35 mal, 230 toko dalam bentuk supermarket, hypermarket, dan beberapa line ritel lainnya,” imbuhnya.
“Apabila hal ini terus berlangsung dan tidak ada solusi dari pemerintah, maka asosiasi ritel dan ekosistemnya yang menaungi lebih dari 10 juta karyawan ini akan terus bertumbangan,” katanya menegaskan.
Penerapan kebijakan impor yang diimplementasikan salah satunya ke dalam peraturan pengetatan impor untuk barang branded berdampak pada sektor-sektor tertentu, dan mengakibatkan banyak peluang menjadi hilang.
Peluang ekspansi ke berbagai wilayah di Indonesia menjadi menguap ke udara karena saat ini banyak toko-toko yang menjual barang branded mulai kosong dan kehabisan stok.
Sebuah toko elektronik di Indonesia, misalnya, kini memiliki jumlah SKU hanya 60% dari jumlah SKU di Singapura dan Malaysia. Harga barang branded di Indonesia didapati lebih mahal 40% dibandingkan di Singapura dan Malaysia.
Opsi berbelanja ke luar negeri kemudian banyak dipilih konsumen dalam negeri karena lebih murah dan pilihannya lebih lengkap. Itu artinya Indonesia kehilangan peluang menjadi destinasi berbelanja bagi turis asing, karena harga-harganya mahal.
Praktik jasa titip atau jastip yang tidak membayar pajak dan impor ilegal menjadi semakin menjamur.
Sektor UMKM pun turut terdampak karena pengetatan impor bahan baku sehingga produksi produk dalam negeri juga terdampak.
Selama ini kita ketahui bersama bahwa peritel pun telah banyak berperan dalam membantu UMKM dan produsen lokal dalam jaringan ekosistem rantai pasok tersebut.
“Pemerintah telah membuat berbagai peraturan yang baik namun kurang tepat dalam mengatasi permasalahan impor ilegal ini. Dampak yang serius dialami oleh pelaku impor legal. Pada beberapa kali dengar pendapat terbuka, kami juga sudah menyampaikan kondisi di lapangan namun peraturan tetap diterbitkan,” ujar Budihardjo selaku Ketua Umum HIPPINDO.
Impor ilegal ini, menurut Budihardjo merugikan banyak pihak. Dari sisi pemerintah, tidak ada pemasukan pajak impor dan PPN.
Pengusaha dalam negeri yang berusaha secara legal dan mengikuti regulasi malah kesulitan mendapatkan barang, sehingga tidak hanya sulit untuk berkembang, tetapi juga sulit untuk bertahan di pasar.
Dari sisi konsumen, barang impor ilegal ini tidak memenuhi syarat keamanan konsumen sesuai regulasi.
HIPPINDO berharap peraturan-peraturan yang mempersulit impor yang legal dipermudah, supaya bisnis tetap berkembang.
Pemerintah perlu untuk mengambil langkah-langkah tegas dan menyeluruh terhadap impor ilegal.
Cara yang efektif dilakukan adalah melibatkan pengawasan ketat terhadap jalur masuk impor ilegal dan melakukan inspeksi menyeluruh terhadap barang yang beredar di pasar.
Serta, pentingnya penindakan hukum terhadap semua pihak yang terlibat dalam peredaran barang impor ilegal, mulai dari penjual, distributor, hingga importir.
“Pemerintah perlu segera mengambil langkah-langkah tegas dan menyeluruh untuk mengatasi impor ilegal. Perizinan pembukaan toko ritel di Indonesia perlu disederhanakan dan dipercepat,” pungkas Budihardjo.
HIPPINDO memohon bantuan pemerintah untuk segera mengambil tindakan konkrit yang diperlukan, mengingat masalah ini telah berlangsung lama dan semakin merugikan pelaku usaha yang beroperasi secara legal.