MK Putuskan Orang Tua Kandung yang Ambil Anak Secara Paksa Akan Dipidana!

langsung baca selengkapnya di bawah!

MK menjelaskan kepetingan anak menjadi kepentingan utama dalam perebutan hak asuh anak (BlasserLaw)
Mon, 30 Sep 2024

Mahkamah Konstitusi (MK) tegaskan orang tua kandung yang ambil paksa anak bisa dipidana, Kawula Muda!

MK menegaskan bahwa kepentingan anak harus menjadi prioritas utama dalam kasus perebutan hak asuh anak. 

Dalam pertimbangannya, Mahkamah Konstitusi (MK) menjelaskan bahwa tindakan pengambilan anak secara paksa oleh orang tua kandung tanpa hak atau tanpa izin dari pengadilan yang berwenang dapat dikategorikan sebagai tindakan pidana. 

Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan bahwa pengambilan anak tanpa persetujuan yang sah dapat dikenakan sanksi hukum.

Hakim Konstitusi Arief Hidayat menyampaikan putusan tersebut dalam sidang yang membahas uji materi terhadap Pasal 330 ayat (1) KUHP. 

MK Putuskan orang tua kandung yang ambil anak secara paksa akan dikenakan Pidana (Ari Saputra/detik.com)

Uji materi ini diajukan karena ada kekhawatiran bahwa pasal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum, terutama dalam konteks hubungan antara orang tua dan anak. 

“Jika orang tua kandung yang tidak memiliki hak asuh sesuai dengan putusan pengadilan mengambil anak tanpa izin atau sepengetahuan orang tua yang memegang hak asuh, apalagi jika tindakan tersebut dilakukan dengan paksaan atau ancaman kekerasan, maka hal itu dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Pasal 330 ayat (1) KUHP,” tegas Hakim Arief Hidayat di Ruang Sidang Pleno MK dikutip dari KataData pada Senin, (30/09/3034).

Dalam Putusan Nomor 140/PUU-XXI/2023, MK memperkuat pandangan bahwa setiap tindakan pengambilan anak yang dilakukan tanpa persetujuan dari orang tua yang memegang hak asuh, atau tanpa adanya keputusan pengadilan yang sah, akan dapat dikenakan sanksi pidana. 

Keputusan ini menegaskan pentingnya perlindungan hukum terhadap anak dan memberikan kejelasan mengenai hak-hak orang tua dalam konteks asuh.

Dengan demikian, MK berharap dapat mencegah terjadinya konflik dan ketidakpastian dalam hubungan orang tua dan anak yang berkaitan dengan hak asuh.

Perkara uji materi ini sebelumnya dimohonkan oleh Lima ibu, yaitu Aelyn Hakim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadarangani, terkait Pasal 330 ayat (1) KUHP. 

Mereka mempertanyakan frasa “barang siapa,” yang menurut pengalaman pribadi mereka, bisa ditafsirkan bahwa orang tua kandung tidak bisa dimintai pertanggungjawaban jika menculik anaknya sendiri.

Kelima ibu ini memiliki hak asuh anak berdasarkan putusan pengadilan setelah bercerai, tetapi tidak dapat bertemu anak mereka karena sang ayah diduga membawa kabur anaknya. 

Saat melaporkan mantan suami ke polisi menggunakan pasal ini, laporan mereka tidak ditindaklanjuti karena pelaku adalah ayah kandung.

Para pemohon meminta MK agar mengubah frasa "barang siapa" dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP menjadi “setiap orang tanpa terkecuali ayah atau ibu kandung dari anak”. 

Namun, MK menegaskan bahwa penerapan Pasal 330 ayat (1) KUHP harus didasarkan pada bukti jelas bahwa tindakan pengambilan anak tanpa izin benar-benar dilakukan oleh pelaku, meski pelakunya adalah orang tua kandung. 

MK juga menyatakan bahwa pasal ini sudah diatur secara tegas dan tidak memerlukan penambahan makna atau interpretasi baru, karena hal tersebut bisa membuatnya berbeda dari norma lain dalam KUHP yang menggunakan frasa "barang siapa".

MK berpendapat bahwa menambahkan makna baru justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum di antara norma-norma KUHP lainnya. 

Oleh karena itu, dalil para pemohon dianggap tidak beralasan menurut hukum, dan permohonan mereka akhirnya ditolak oleh MK.

Berita Lainnya