Semoga David bisa lekas pulih ya, Kawula Muda :)
Tim dokter di Rumah Sakit Mayapada Kuningan membantah kabar korban penganiayaan David (17) diagnosis mengalami Diffuse Axonal Injury (DIA). mereka menyebut pihaknya tidak pernah mengonfirmasi diagnosis tersebut.
Koordinator Tim ICE RS Mayapada Kuningan, dr. Franz Pangalila menyebut terdapat indikator yang jelas untuk mendiagnosis seorang pasien mengalami Diffuse Axonal Injury. Di sisi lain, David disebut mengalami perkembangan signifikan setelah empat hari dirawat di ICU.
"Kalau DAI itu, dari mana DAI? Itu ada kriteria, dan tidak gampang menyebut langsung DAI, itu terlalu teledor kalau ngomong DAI, dasarnya apa?" ujar Franz saat jumpa pers di RS Mayapada Kuningan, Selasa (28/2/2023), mengutip Kompas.
Perkembangan tersebut pun diakui oleh ayah David, Jonathan Latumahina. Lewat akun Twitternya, petinggi GP Ansor tersebut menyatakan respons David kini sudah semakin baik dan mengalami kemajuan luar biasa.
Lebih lanjut, pihak tim dokter menyebut akan terus mengobservasi kondisi David karena masih ada kemungkinan penurunan kondisi. Adapun kondisi terkini David dalam skala koma glasgow berada di sekitar empat.
Lantas, apa itu DIA? Bagaimana cara pengukuran DIA? Dan, apa itu skala glasgow? Berikut penjelasannya, Kawula Muda!
Mengutip laman resmi Hopkins Medicine, Diffuse Axonal Injury merupakan kondisi saat terjadi cedera besar pada bagian akson otak. Diffuse Axonal Injury pun termasuk ke dalam salah satu bentuk Cedera Trauma Otak (TBI) dan memiliki efek yang parah.
Otak memang terdiri atas jutaan serabut saraf yang dinamakan akson, Kawula Muda! Akson tersebut berfungsi untuk mengirimkan rangsangan atau sinyal dan saling terhubung satu sama lain. Akson pun berperan penting bagi manusia. Dengan rangsangan yang dihantarkan oleh akson, seorang manusia dapat bergerak, berpikir, berbicara, hingga merasakan sesuatu.
Sebenarnya, apabila hanya terdapat satu akson yang robek atau rusak, itu bukanlah masalah besar. Namun, lain halnya apabila terdapat sebagian besar akson yang robek dan rusak. Kondisi itulah yang dinamakan dengan Diffuse Axonal Injury, Kawula Muda!
Apabila seseorang didiagnosis mengalami DAI, maka ia dipastikan mengalami cedera otak yang cukup parah. Secara khusus, Diffuse Axonal Injury menunjukkan adanya robekan akson dalam jumlah besar sehingga tubuh kehilangan kemampuan untuk berkoordinasi dan berkomunikasi.
Diffuse Axonal Injury dapat terjadi apabila seseorang mengalami kecelakaan traumatis yang membentur kepala. Hal ini dapat menyebabkan bergeser atau berputarnya otak di dalam tengkorak. Ketika terjadi perubahan lokasi otak tersebutlah, saraf-saraf yang ada di dalamnya akan merenggang hingga mengalami kerusakan.
Diffuse Axonal Injury umumnya terjadi karena kecelakaan bermotor, kecelakaan saat olahraga, jatuh dengan keras (mengenai kepala), hingga dipukul dengan benda tumpul di area kepala.
Biasanya, pasien akan kehilangan kesadaran setelah 6 jam mengalami cedera. Mereka juga dapat mengalami perubahan perilaku, sosial, fisik, dan kognitif.
Ketika seseorang mengalami cedera kepala, maka dokter akan melakukan serangkaian tes untuk menentukan ‘skor cedera’ skala glasgow. Skor tersebut berkisar antara 3 hingga 15. Apabila skor tidak mencapai angka 8 selama lebih dari 6 jam, maka ia akan didiagnosis dengan Diffuse Axonal Injury, Kawula Muda!
Berikut adalah cara pengukuran skor cedera tersebut mengutip penelitian yang diterbitkan oleh National Library of Medicine!
- Pembukaan Mata (E): Spontan (4), respons terhadap suara (3), respons terhadap rasa sakit (2), tidak ada respons sama sekali (1)
- Respons verbal (V): Dapat melakukan percakapan normal (5), percakapan berorientasi (4), mengucapkan kata tetapi tidak bersinambung (3), tidak berkata-kata, hanya suara (2), tidak ada suara (1)
- Respons motorik (M): Normal (6), bergerak dan terlokalisasi di bagian nyeri (5), mampu menarik bagian nyeri dengan normal (4), penarikan bagian tubuh dengan tidak normal (3), perpanjangan sendi tubuh secara tidak sadar (2), tidak ada respons motorik (1)
Sementara itu, menurut pengalaman sejumlah dokter di Amerika Serikat, DAI memiliki konsekuensi berat. Risiko terberatnya adalah distabilitas (mayoritas terjadi kepada anak-anak dan anak muda) hingga kondisi vegetatif (kehilangan kemampuan berpikir dan berperilaku sehingga hanya organ vital yang berfungsi seperti tumbuhan), kematian otak, dan kematian keseluruhan.
Di sisi lain, pasien yang tengah melakukan rehabilitasi DAI juga dapat mengalami kondisi ‘dysautonomia’. Istilah tersebut menggambarkan ketika sistem saraf otonom tidak bekerja secara semestinya sehingga menyebabkan detak jantung terlalu cepat, pernapasan dangkal cepat, keringat berlebih, hingga hipertermia.
Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa begitu sel-sel otak dihancurkan atau rusak, sebagian besar, mereka tidak akan dapat beregenerasi.
Namun, pemulihan setelah cedera otak juga dapat terjadi, Kawula Muda! Hal itu terutama pada orang yang lebih muda, karena adanya kemungkinan area lain di otak dapat menembus jaringan yang terluka. Dalam kasus lain, otak juga dapat belajar mengalihkan informasi dan fungsi di sekitar area yang rusak.
Setiap cedera otak dan laju pemulihan adalah unik. Pemulihan dari cedera otak yang parah sering kali melibatkan proses pengobatan dan rehabilitasi yang berkepanjangan atau seumur hidup.
Mengutip laman resmi Hermina Hospitals, berikut beberapa pengobatan yang dapat dilakukan kepada pasien Diffuse Axonal Injury!
- Perawatan Diffuse Axonal Injury dapat menyebabkan pembengkakan otak dan peningkatan tekanan. Karena itu, perlu adanya pengobatan pertama untuk mengurangi pembengkakan. Perawatan tersebut pun termasuk obat-obatan oral dan teknik untuk mengurangi pembengkakan dan kadar cairan di otak.
- Dalam kasus ringan dan sedang dengan gegar otak, proses pemulihan pasien akan mencakup periode istirahat yang diikuti oleh rehabilitasi intensif.
- Dalam banyak kasus, cedera Diffuse Axonal Injury dapat menyebabkan kematian atau vegetatif. Namun, jika pasien sadar kembali, rehabilitasi akan diperlukan untuk membantu memulihkan kemampuan fungsional. Program rehabilitasi akan mencakup kombinasi terapi bicara, fisik, dan okupasi.