:((
Pada 19 Januari lalu, remaja 18 tahun asal Pakistan, Zain Ali menembak mati ibu dan kedua saudaranya di rumahnya.
Pada awalnya, ia mengira ibu dan kedua saudaranya dapat hidup kembali. Logika itu ia percayai karena terus menerus bermain Player Unknown’s Battleground (PUBG) yang memungkinkan player untuk hidup kembali walaupun telah ditembak mati.
“Kekesalan karena kalah terus menerus meningkatkan rasa stress saya, dan saya menembak kemudian mengira mereka dapat kembali hidup seperti di game (PUBG),” tutur Zain kepada polisi dikutip dari Vice.
Salah satu tetangga Zain mengakui memang Zain jarang keluar rumah karena kecanduan bermain game. Namun, menurutnya, Zain adalah anak yang berperilaku baik bahkan tidak pernah bertengkar dengan anak lainnya.
Kini, rasa takut dan khawatir mewarnai lingkungan sekitar Zain. Beberapa anak-anak yang sebelumnya tidak bermain PUBG malah menjadi penasaran akan apa yang dihadirkan dalam permainan tersebut.
Tak lama setelah kejadian Zain tersebut, beberapa tuntutan untuk melarang PUBG pun mulai dimunculkan. Hal itu terkait adanya unsur “kekerasan” yang dikhawatirkan dapat memengaruhi anak-anak dan remaja.
Namun, dikutip dari Vice World News, salah satu ahli mental health menyatakan tidak seharusnya menjadikan video game, termasuk PUBG, sebagai penjahat tunggal.
“Terdapat hubungan yang tinggi di antara isi mental health dan video game, tetapi hal itu juga dikarenakan anak muda tersebut telah berada dalam ancaman dan kondisi rapuh sehingga memanfaatkan video game sebagai penyalur stress,” tutur psikolog Rabeea Saleem.
Protes yang sama turut diserukan oleh para pemain video game profesional. Mereka berargumen bahwa walaupun telah bermain game selama bertahun-tahun, tidak serta merta mendorong mereka untuk berbuat kekerasan hingga membunuh.