Ngeri banget deh kalau udah kena badan.
Tragedi Kanjurahan di pertandingan Liga 1 Indonesia mengakibatkan ratusan orang meninggal akibat kehabisan nafas usai aparat kepolisian melemparkan gas air mata ke mereka.
Sebetulnya, sudah ada ketentuan dari Federation Internationale de Football Association (FIFA) pada Bab III dan pasal 19, gas air mata tidak boleh digunakan untuk meredam massa di dalam pertandingan sepak bola.
Walau namanya gas tapi gas air mata sesungguhnya berbentuk cairan, cairan dalam suhu ruangan ini dicampur dengan bahan-bahan lain sehingga berbentuk aerosol.
Gas air mata ini biasanya ditembakkan dari tabung untuk membubarkan kerumunan atau sekelompok besar orang yang dianggap sebagai ancaman.
Awal mula gas air mata digunakan saat Perang Dunia I (1914-1918) untuk melumpuhkan lawan. Saat itu, amunisi serupa gas air mata telah digunakan oleh Jerman dan Perancis.
Dilansir dari laman Detik, dalam beberapa tahun, gas air mata telah beralih dari teknologi militer ke teknologi sipil. Pada akhir tahun 1923, lebih dari 600 kota dilengkapi dengan gas air mata, dan banyak yang telah menggunakannya secara efektif terhadap warga sipil.
Dilansir dari Antara, Senin (03//10/2022), Pakar Kesehatan Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya, Dede Nasrullah S.Kep.Ns, M.Kep menjelaskan seperti apa bahannya gas air mata jika terkena oleh manusia.
"Senyawa CS ini yang berhubungan dengan reseptor syaraf yang dapat menyebabkan rasa nyeri, ketika gas air mata terpapar di kulit, terutama pada bagian wajah dan mata akan menimbulkan rasa perih dan pedih," terangnya.
Dilansir dari BBC Indonesia, gejala awal jika terkena di tubuh sekitar 30 detik. Mata akan berair karena sensasi terbakar, kesulitan bernapas, sakit di bagian dada, iritasi pada kulit, dan kebutaan sementara.
Sering terjadi ketika orang-orang kesulitan bernapas dalam keadaan terbatas karena penahanan polisi, sehingga mereka tidak bisa menghirup udara segar.
Itulah yang terjadi di Kanjuruhan. Banyak penonton yang terkena gas air mata, tidak bisa langsung menghindar dan menyelamatkan diri.
Efek gas air mata akan lebih parah jika orang yang terkena mengidap asma atau masalah pernapasan bawaan.
Mengutip dari laman Hello Sehat, perlindungan untuk mencegah risiko sesak napas akibat menghirup gas, bisa dilakukan dengan merendam bandana atau handuk kecil dalam jus lemon atau cuka, dan simpan dalam kantong plastik.
Korban bisa bernapas melalui kain yang diasamkan selama beberapa menit untuk memberikan tambahan waktu melarikan diri.
Tindakan terbaik untuk menghindarinya adalah tetap tenang sembari mencari udara segar. Dongakkan kepala dan hindari berada di jalur yang sama dengan granat. Keluar dan cari tempat yang aman dengan sirkulasi udara lancar.
Jika sudah berada di tempat aman, segera cuci mata dan wajah dengan air bersih sampai gejala iritasi mereda. Bisa juga dengan melepaskan baju agar paparan gas tidak semakin mengiritasi kulit.
Kulit yang terkena gas harus dicuci dengan sabun dan air, namun jika sudah luka bisa diobati dengan diperban.
Sayangnya, penggunaan gas ini sebetulnya masih menjadi kontroversi. Bahkan, bukan hanya regulasi FIFA, penyalahgunaan gas air mata juga dilarang dalam Amnesty International.
Dilansir dari Tempo, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh aparat keamanan negara dalam mengatasi atau mengendalikan massa tidak bisa dibenarkan sama sekali.