Ada berbagai aturan yang perlu diperhatikan, Kawula Muda.
Anak di bawah umur bisa saja terlibat dalam konflik dan menjadi pelaku dalam suatu tindak hukum pidana atau disebut dengan anak yang berkonflik dengan hukum.
Belum lama ini, Anak yang berkonflik dengan hukum, AG (15) melaksanakan sidang secara tertutup atas kasus penganiayaan David.
Hasil dari sidang tersebut, AG dituntut 4 tahun penjara, lebih ringan dari hukuman maksimal 12 tahun dibagi dua untuk anak, yakni 6 tahun penjara.
Sebelumnya, jaksa sudah membacakan dakwaan kepada AG yang diyakini melanggar Pasal 355 ayat 1 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Hal ini pun membuat AG terancam hukuman maksimal 12 tahun penjara. Tuntutan oleh jaksa kepada AG yang lebih ringan ini dipertimbangkan karena AG masih tergolong anak-anak di bawah umur.
Tuntutan penjara kepada anak ini juga diatur dalam Pasal 80 ayat 2 UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di UU ini, tertulis jelas bahwa jika ada terdakwa anak yang terlibat dan terbukti melakukan pidana dengan mengakibatkan korban mengalami luka berat, maka jaksa hanya bisa menuntut dipidana paling lama 5 tahun penjara.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), seorang anak pelaku harus mendapatkan perlakuan dan penanganan berbeda dari pelaku dewasa.
Lalu, bisakah anak di bawah umur dapat hukum pidana?
Anak bisa diminta pertanggung jawaban atas tindak pidana jika sudah berusia 12 tahun dan belum berusia 18 tahun.
Melansir dari laman Kemenkumham, Kamis (06/04/2023), ada aturan hukum kepada anak di bawah umur berdasarkan Mahkamah Konstitusi (MK), Kawula Muda. Simak di bawah ini, ya!
Untuk kasus anak di bawah umur memiliki penerapan keadilan yang berbeda yakni restoratif dengan diversi (pengalihan penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana).
Aturan yang mengatur peradilan pidana anak yakni UU Nomor 11 Tahun 2012, gunanya untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan yang bisa mempengaruhi tumbuh kembang.
Diversi bisa dilaksanakan jika tindak pidana yang dilakukan diancam dengan pidana penjara di bawah tujuh tahun dan bukan merupakan pengulangan tindak pidana.
Jika proses diversi hasil kesepakatan tidak tercapai, maka proses peradilan pidana anak yang berkonflik dengan hukum akan dilanjutkan.
Dalam UU Nomor 11 Tahun 2012, ada dua jenis hukuman yang dapat dijatuhkan kepada anak pelaku tindak pidana, di antaranya:
- tindakan: bagi pelaku tindak pidana yang berumur di bawah 14 tahun, dan
- pidana: bagi pelaku tindak pidana yang berumur 14 tahun ke atas.
Pidana pokok bagi Anak sesuai yang tertuang dalam Undang-undang nomor 11 tahun 2012 pasal 71 terdiri atas:
a. pidana peringatan;
b. pidana dengan syarat:
1) pembinaan di luar lembaga;
2) pelayanan masyarakat; atau
3) pengawasan.
c. pelatihan kerja;
d. pembinaan dalam lembaga; dan
e. penjara.
Sedangkan untuk pidana tambahan terdiri atas:
a. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; atau
b. pemenuhan kewajiban adat.
Apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. Dalam pasal tersebut juga tertuang bahwa pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat anak.
Indonesia pernah mencatat beberapa kasus hukuman pidana kepada anak di bawah umur. Dilansir dari laman Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kabupaten Sukoharjo, ada kasus yang hampir di setiap daerah.
Komisi Perlindungan Perempuan dan Anak Daerah (KPPAD) Kalimantan Barat (Kalbar), misalnya, mencatat ada 294 kasus anak berhadapan dengan hukum (ABH) sepanjang 2021. Kota Pontianak mencatat kasus ABH tertinggi yakni 147 kasus.
"Untuk Kota Pontianak ada sebanyak 147 kasus yang kami terima dan ditangani, dari jumlah itu sebanyak 59 merupakan kasus ABH," kata Ketua KPPAD Kalbar, Eka Nurhayati Ishak, seperti dilansir Antara di Pontianak, Jumat 17 Desember 2021 lalu.
Kasus ABH di Pontianak di antaranya adalah pornografi, cybercrime, human trafficking, eksploitasi hak anak, dan pengasuhan keluarga. Selanjutnya adalah Kubu Raya dengan 74 kasus, Sambas 29 kasus, Bengkayang 11 kasus, Singkawang 9 kasus, Mempawah 6 kasus.
Berikutnya ada Sanggau dan Sintang masing-masing empat kasus, Landak tiga kasus, Ketapang dua kasus, Kapuas Hulu dan Kayong Utara masing-masing satu kasus.
Namun, Mahkamah Konstitusi tetap perlu menetapkan batas umur bagi anak untuk melindungi hak konstitusional anak, apalagi hak pada perlindungan dan hak untuk tumbuh kembang.
Hal tersebut sesuai dengan pengertian anak yang berkonflik dengan hukum dalam Pasal 1 angka 3 UU SPPA. Batas usia anak ini naik dari aturan sebelumnya, UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak, yakni usia minimal adalah 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun.
Mahkamah juga mempertambahkan hal lain seperti umur 12 tahun secara mempertimbangkan bahwa anak secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil.
"Serta sesuai dengan psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia. Sehingga dapat bertanggungjawab secara hukum karena telah mengetahui hak dan kewajibannya," tambahnya.
Dalam laman Jaringan Dokumentasi dan Informasi Hukum Kabupaten Sukoharjo, berdasarkan Undang-Undang No.3 Tahun 1997, dapat dikatakan bahwa perlakuan terhadap anak yang melakukan tindak pidana memiliki ketentuan; setiap anak berhak untuk tidak dipisahkan dari orang tuanya, kecuali jika ada alasan dan aturan hukum yang sah yang menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak.
Hak anak untuk tetap bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan orang tuanya tetap dijamin oleh undang-undang. Selanjutnya anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.