Silampukau, Bicara Soal Tindakan Represif Aparat pada Demonstran Hingga Progres Album Kedua

Alih-alih rilis album baru, Silampukau justru jualan safety tools untuk para demonstran.

Silampukau (Instagram/silampukau)
Mon, 02 Sep 2024

Siapa yang gak kenal Silampukau? Duo folk yang dikenal dengan lirik-liriknya yang magis ini baru-baru ini jadi buah bibir di sosial media, Kawula Muda.

Duo yang digawangi Kharis Junandharu dan Eki Tresnowening belakangan turut menyampaikan protesnya mengenai aksi demonstrasi masyarakat yang tengah mengawal putusan MK terkait RUU Pilkada.

Barangkali, Silampukau tidak memajang ‘Peringatan Darurat’ dengan background biru serta gambar Garuda Pancasila di sosial medianya, tapi itu bukan berarti mereka apatis dengan keruwetan hukum yang terjadi akhir-akhir ini.

Sama seperti lirik-lirik lagunya yang selalu menggambarkan kondisi sosio politis sebagai bentuk protes mereka terhadap keadaan di sekitar, Silampukau juga punya cara yang beda dalam merespons kejadian buruk akhir–akhir ini; tindakan represif aparat terhadap demonstran.

Safety Tools untuk Aksi Demonstrasi

Silampukau menjual safety tools untuk perlindungan diri para demonstran (Website resmi Silampukau)

“Lindungi Diri, Lindungi Demokrasi” adalah tulisan yang terpampang saat mengunjungi laman resmi Silampukau.

Silampukau sadar bahwa saat masyarakat melakukan aksi demonstrasi, mereka jadi pihak paling rentang karena mesti berhadapan dengan aparatur negara yang lengkap dengan atribut dan ‘senjata’ yang kerap kali melukai.

Silampukau, duo yang album keduanya sangat ditunggu ini justru lebih memilih menjual safety tools untuk masyarakat yang ingin melakukan demonstrasi, tujuan utamanya untuk melindungi diri dari kemungkinan tindakan represif aparat.

Pada laman resminya, Silampukau menjual beberapa alat sederhana yang bisa digunakan untuk ‘jaga-jaga’ chaos-nya aksi demonstrasi, mereka menjual Safety Helmet, Safety Goggles, Gas Mask, Balaclava, Heat-Resistant Gloves, Knee & Elbow Pads, Payung, serta Oxigen.

“Awalnya jualan safety tools karena iseng, karena gemes liat kondisi pada saat itu, orang demo dipukulin. Padahal seharusnya aparat negara ini melindungi serta mengayomi masyarakat, kenyataannya malah terlalu ngawur menghadapi para demonstran,” ujar Kharis saat dihubungi Prambors, Rabu (28/8/2024).

“Demonstrasi itu kan hak, hak masyarakat, seharusnya tidak  seperti itu responsnya.” lanjut Kharis.

Upaya yang dilakukan Silampukau bukan sebagai bentuk perlawanan saat aksi demonstrasi, sekali lagi, ini sebagai upaya dalam melindungi diri.

Dari banyaknya kejadian represif aparat negara dalam menghadapi demonstran, penting untuk menyiapkan atau melindungi diri dari kemungkinan kekerasan yang dilakukan polisi saat aksi demonstrasi.

Hal tersebut yang melandasi ide Kharis dan Eki Silampukau menjual safety tools untuk para demonstran, yang bahkan keuntungan penjualannya tak mereka dapatkan.

“Kita gatau berapa safety tools yang terjual, dan berapa keuntungannya, karena kita iseng ambil beberapa toko di marketplace yang kita percaya, untuk kemudian kita taro barang jualannya di website Silampukau, buat bantu UMKM juga.” sebut Eki.

Tindakan Represif Aparat saat Demonstrasi

Sejumlah aparat mengamankan seorang pengunjuk rasa yang masuk ke dalam kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (22/08/2024).

Demo mahasiswa yang berlangsung di Semarang pada hari Senin, 26 Agustus 2024, sempat diwarnai kericuhan hingga memakan beberapa korban.

Menurut Tuti Wijaya, kuasa hukum aksi demo yang bertajuk "Gerakan Rakyat Menggugat Jawa Tengah" itu, sebanyak 33 orang dirawat di rumah sakit.

Para korban mayoritas mengalami sesak nafas, ada pula yang mendapatkan luka di kepala. Selain itu, katanya, 6 mahasiswa dan 21 pelajar diamankan polisi.

"Ada 33 orang yang dirawat di sejumlah rumah sakit. Sebagian besar mengalami sesak nafas, ada juga yang mengalami luka di kepala," ucap Tuti seperti dikutip dari Tirto.id, Rabu (28/8/2024).

Belum lagi video yang bertebaran di sosial media yang menampilkan anak-anak mengaji yang terkena dampak gas air mata aparat kepolisian pada aksi demonstrasi yang berlangsung di Semarang tersebut.

Aksi demonstrasi gabungan antara masyarakat sipil dan mahasiswa di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Selatan, Kamis (22/8/2024) juga tak lepas dari korban represif aparat negara.

Menurut laporan BBC, Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menerima setidaknya 51 pengaduan terkait praktik kekerasan aparat polisi dalam menangani aksi demonstrasi penolakan pengesahan RUU Pilkada.

Tindakan represif aparat negara terhadap para demonstran rupanya tidak terjadi pada aksi demonstrasi penolakan pengesahan RUU Pilkada kemarin saja, Kawula Muda.

Masih segar diingatan tentang 135 orang yang tewas dalam Tragedi Kanjuruhan akibat gas air mata pada 1 Oktober 2022. Gas air mata yang diarahkan ke arah tribun penonton, membuat ribuan penonton di tribun berhamburan memaksa keluar hingga membuat penonton terjebak di ambang pintu keluar arena.

"Rata-rata korban meninggal karena terinjak-injak dan sesak nafas," kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Malang Wiyanto Wijoyo, dikutip dari Kompas.com, Rabu (28/8/2024).

Polisi kerap kali menggunakan gas air mata untuk ‘menertibkan’ demonstran di lapangan. Padahal, penggunaan gas air mata dalam situasi perang dilarang. Hal tersebut merujuk pada Konvensi Senjata Kimia Internasional (CWC) yang menyepakati pelarangan senjata kimia sejak 1997.  Sayangnya, konvensi tersebut tidak menghentikan aparat penegak hukum di masing-masing negara, termasuk Indonesia dalam penggunaan gas air mata sebagai metode pengendalian kerusuhan di jalan dan ruang publik.

Sementara itu, di Indonesia, salah satu prosedur pengamanan yang dilakukan di Polri berpedoman pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Perkapolri) Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.

Merujuk pada Perkapolri tersebut, ada 6 tahapan yang mesti dipatuhi Polisi, gas air mata merupakan tahapan ke-5 dari penggunaan kekuatan di kepolisian.

Kritik Sosial dan Progres Album Kedua Silampukau

Silampukau (Instagram/silampukau)

Sebagai musisi yang tumbuh di tengah masyarakat yang kerap terdampak kebijakan-kebijakan politis, Kharis dan Eki sadar betul bahwa mereka harus menyuarakan apa yang dirasakan masyarakat akar rumput.

Album “Dosa, Kota, Dan Kenangan” jadi bukti shahih bagaimana mereka mengutarakan keresahan masyarakat sekitar.

Sebagai contoh, lewat lagu “Bola Raya”, Silampukau mengkritisi perampasan ruang hidup. Ada juga lagu “Si Pelanggan” yang merupakan tribute untuk para pekerja seks komersial di Gang Dolly.

Menilik materi-materi di album lamanya, serta serangkaian kejadian di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, kemudian muncul sebuah pertanyaan, akan seperti apa album kedua Silampukau?

Saat ditanya mengenai progres album kedua, Kharis dan Eki serentak mengiyakan saat ditanya kemungkinan membawa isu-isu yang kini terjadi, termasuk tindakan represif aparat untuk album keduanya.

“Sangat mungkin, karena kita terus-terusan dipertontonkan kejadian seperti ini dan terus berulang.” ujar Eki.

Sebagai informasi, Silampukau sudah merilis dua lagu baru setelah album “Dosa, Kota, Dan Kenangan”, yakni lagu “Dendang Sangsi” dan lagu “Lantun Mustahil”.

Dua lagu bisa jadi akan menjadi bagian dari album kedua Silampukau yang rencananya akan dirilis akhir tahun ini.

“Progress albumnya sempat naik turun, tapi kita rencanakan akan rilis akhir tahun ini,” ungkap Kharis.

Kenapa Musisi Harus Bersuara saat Terjadi Ketidakadilan?

Deretan Musisi Indonesia Pasang Gambar Peringatan Darurat (Instagram/Realityclub)

Silampukau tentu bukan satu-satunya musisi yang kerap bersuara saat melihat ketimpangan dan ketidakadilan yang terjadi.

Saat visual ‘Peringatan Darurat’ menggema di sosial media, banyak musisi yang kemudian menampilkan ‘Peringatan Darurat’ tersebut di aksi panggungnya. Sebut saja Reality Club, Gigi, Hindia, Kunto Aji, Juicy Luicy, hingga Nadin Amizah.

Musisi cukup punya power untuk menggerakkan penggemarnya untuk doing something, tak hanya sekadar mengajak para penggemar untuk membeli merch, para musisi juga bisa punya pengaruh atas pandangan politik para penggemarnya.

Oleh karenanya, baik Eki maupun Kharis, keduanya sepakat bahwa penting bagi para musisi untuk turut bersuara saat melihat ketidakadilan.

“Bukan hanya musisi, baik public figur atau para influencer, mereka punya peran penting untuk meng-influence para penggemarnya, untuk melakukan sesuatu . Karena mereka punya pengaruh sangat besar untuk menggiring opini orang-orang melampaui spektrum politik,” ucap Kharis.

Lebih lanjut, Eki menambahkan bahwa sebagai rakyat kita harus sama-sama bergerak, saling bantu, apa pun caranya.

“Kita harus sama-sama bergerak untuk sesuatu yang tidak adil kepada rakyat, gak harus lewat karya bisa juga bersuara lewat sosial media.” pungkas Eki.

Berita Lainnya