Hai Kawula Muda, ada yang baru ganti gaya nih!
Penyanyi solo sekaligus penulis lagu Ardhito Pramono akhirnya resmi mengumumkan single terbarunya yang berjudul Wijayakusuma pada Kamis (7/7/2022).
Single ini menjadi salah satu materi dari album penuh mendatang di bawah naungan label Aksara Records.
Wijayakusuma menjadi karya perdana Ardhito setelah masa rehabilitasinya selesai, sekaligus penanda kembalinya label rekaman Aksara Records setelah hampir 13 tahun tidak beroperasi.
Ardhito mulai menciptakan Wijayakusuma sejak awal 2021, ketika ia menjadi saksi penggusuran kawasan asri di Canggu, Bali, demi vila yang akan dibangun oleh warga negara asing.
Awalnya, ia ingin mengkritik peristiwa tersebut lewat sebuah lagu, sebelum Narpati Arwangga alias Oomleo membalas kritik Ardhito sebab karya-karyanya yang minim sentuhan Indonesia.
Kritik tersebut membuat Ardhito menggeser perspektif idenya dan melahirkan Wijayakusuma, tembang pop Indonesia dua babak bercerita seputar eksistensi diri.
Hingga kemudian terciptalah lagu Wijayakusuma yang menjadi karya bersama dari Ardhito dan Narpati Oomleo Awangga yang kemudian diproduseri oleh Gusti Irawan Wibowo.
Di babak pertama Lagu yang sarat pesan ini, Ardhito mempertanyakan makna hidup dengan iringan khidmat piano, orkestrasi yang lirih, juga adakalanya sahut paduan suara.
“Laju senja, pasrah gelap tiba. Tertunduk, termenung, terkulai, terlunta. Cemas akan guna,” begitu penggalan liriknya yang ia tuliskan dengan padanan aksara autentik, dinyanyikan melalui lekuk pop Indonesia kala 50 tahun silam.
“Banyak kecemasan gue akan.. ‘guna gue apa, ya? Gue musisi, main film, penyiar juga. Terus apa?" jelas Ardhito tentang bagian awal Wijayakusuma.
"Malah jadi mempertanyakan fungsi diri gue. Gue cerita banyak ke Oomleo, untuk itu akhirnya gue sertakan dalam lirik,” ujarnya dalam siaran pers.
Liriknya kemudian berkembang seiring lagunya melaju mencapai babak kedua. Dia mengaitkan makna hidup dengan alam semesta yang digambarkan oleh kekayaan alam maupun budaya Indonesia.
Aransemennya pun tumbuh selaras dengan semakin megahnya bagian orkestrasi maupun paduan suara. Kemudian diramaikan oleh komposisi gamelan dan nyanyian sinden dari Peni Candra Rini, pelaku macapat asli Solo.
Jika digambarkan, Wijayakusuma mengingatkan kita pada karya-karya besar Eros Djarot, mendiang Yockie Suryoprayogo, Keenan Nasution, hingga Guruh Soekarnoputra.
Meskipun begitu, Ardhito bukan berusaha mereplika zaman emas itu. Ia hanya ingin menjembatani semangatnya untuk masa ini.
Ia pun mengaplikasikan metode satu kali rekam, demi menuai esensi olah vokal yang maksimal dalam situasi terbatas, selayaknya periode rekaman menggunakan pita.
“Gue memang mencoba balik ke zaman dulu untuk proses A sampai Z-nya,” kata Ardhito.
“Meski sudah banyak teknologi yang mendukung, metode yang gue gunakan masih bersemangat lawas," ujar Ardhito lagi.
Ardhito juga menambahkan, ,eski sudah tersedia jasa orkestrasi yang lebih praktikal di Budapest, ialebih memilih untuk merekamnya di Indonesia, dengan pemain-pemain dari Indonesia, dan beberapa alat rekamnya pun asli dari Indonesia.
Konsep pop Indonesiana yang diusung Ardhito menjadi salah satu pemicu untuk Hanindito Sidharta, co-founder Aksara Records, membangkitkan kembali label rekaman tersebut.
“Dulu, Aksara Records berdiri karena kami ingin mendokumentasikan band-band Jakarta yang tidak berpatokan kepada musik pop atau rock yang ada di pasar pada saat itu. Seperti The Brandals, The Upstairs, The Adams, dan masih banyak lagi," jelas Hanin.
Sekarang, kata Hanin, Aksara Records kembali karena kancah musik pop Tanah Air hari ini sangat seru,dengan sentuhan pop 80’an atau 70’an. Musik-musik seperti ini, ujar Hanin, bahkan digemari anak-anak gen Z dan milenial.
Setelah ini, mereka juga bakal merilis album penuh terbaru Ardhito Pramono yang direncanakan terjadi pada pertengahan Juli ini. Warna musik Ardhito di albumnya nanti pun akan penuh nuansa pop Indonesia lama.