Best Indonesia Album Release of 2024!

Prambors mengkurasi 10 album Indonesia tahun ini!

Best Indonesia Album Release of 2024 (Prambors)
Sat, 28 Dec 2024

Memasuki era digital, mendengarkan musik tak hanya sekadar masuk telinga, lebih dari itu, beberapa digital streaming platform (DSP) bahkan memberikan apresiasi kepada para penggunanya untuk berselebrasi dengan apa yang setahun terakhir didengarkan oleh mereka.

Spotify dan YouTube Music misalnya, membuat satu fitur khusus setiap akhir tahun, dengan Spotify Wrapped atau YouTube Music Recap, fitur ini seakan jadi ‘hisab tahunan’ yang bisa dipamerkan di lini masa.

Oleh karenanya, kami redaksi Prambors Radio, juga turut merayakan perjalanan musik sepanjang tahun 2024 dengan mengapresiasi karya musik yang rilis di tahun ini, baik berupa album maupun mini album (EP).

Kami lantas membuat sepuluh daftar rilisan album maupun mini album (EP) musisi/band lokal di tahun 2024 yang patut diapresiasi.

Tentu saja daftar ini merupakan hasil diskusi editorial Prambors Radio, sehingga akan terdengar subjektif, dan tentunya sangat bisa diperdebatkan. Bahkan, dalam memilih sepuluh album dan EP ini, kami melalui perdebatan dalam ruang diskusi.

Tanpa berlama-lama, berikut sepuluh album/mini album Indonesia terbaik yang rilis di tahun 2024:

10. Pamungkas (Hardcore Romance)


Sepertinya, album “Hardcore Romance” jadi album paling personal Pamungkas.

Lewat album ini, Pamungkas coba untuk merefleksikan kisah asmaranya dengan memadukan lirik introspektif dan melodi yang catchy.

“Hardcore Romance” mampu membawa pendengarnya merasakan rollercoaster emosi, mulai dari perasaan muram, optimisme, hingga fase acceptence.

Ada yang bilang, secara tema, album “Hardcore Romance” jadi salah satu album Pamungkas yang stagnan. Tapi, bukankah itu adalah kekuatan Pamungkas dalam bermusik?

Tentu saja setiap musisi atau band akan melewati fase dilematis saat merilis karya musik yang kesekian, memilih berjudi dengan eksplorasi musiknya, atau meredam kebosanan dengan formula yang pasti?

Satu hal yang pasti, album "Hardcore Romance" adalah perpaduan yang efektif antara indie rock, alt-pop, dan balada lembut.

9. Adrian Khalif (HARAP-HARAP EMAS)


Benar kata Efek Rumah Kaca, “Apa karena kuping melayu, sukanya yang sendu-sendu”, kisah asmara jadi salah topik yang akan laku di industri musik Indonesia.

Maka tidak heran, bila album “HARAP-HARAP EMAS” kemudian langsung diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia.

Barangkali, karena demografi usia, musik akan selalu milik anak muda. Toh, saat sudah memasuki usia kepala tiga, manusia cenderung sulit menerima musik baru.

Terlepas dari itu semua, dengan album ini, Adrian Khalif cukup berhasil membuat pendengar terikat dengan musiknya lewat hook catchy yang mudah diingat.

Dengan “HARAP-HARAP EMAS”, Adrian Khalif menghadirkan lirik yang bermakna, vokal yang emosional, dan perpaduan musik pop Indonesia masa kini.

Menempatkan album “HARAP-HARAP EMAS” pada daftar ini tidaklah berlebihan, mengingat perkembangan kualitas bermusik seorang Adrian Khalif hingga saat ini.

8. White Chorus (do you guys wanna listen to some electro-pop music?)


If album White Chorus ask me “do you guys wanna listen to some electro-pop music?” I said yes!

Dari awal hingga akhir, mini album ini memanjakan telinga dengan aransemen elektro-pop yang enerjik dan penuh kreativitas.

Efek suara yang berlapis, synth yang menggema, dan vokal yang melayang menciptakan nuansa futuristik yang mengesankan. White Chorus nyaris tak pernah gagal membuat melodic synths yang ramah di telinga.

Album “do you guys wanna listen to some electro-pop music?” mungkin tidak akan cocok untuk backsound konten TikTok, tapi album ini secara ajaib bisa meningkatkan mood jadi lebih baik.

7. Juicy Luicy (Nonfiksi)


Tak bisa dipungkiri, tahun 2024 jadi tahunnya Juicy Luicy. Di tahun ini juga, mereka merilis album “Nonfiksi”.

“Nonfiksi” lahir dengan lirik yang memikat serta aransemen musik yang segar dan catchy.

Apa yang menarik dari “Nonfiksi” adalah cara Juicy Luicy bermain dengan ketegangan antara kebahagiaan dan kesedihan, antara kenangan dan harapan.

“Nonfiksi” It’s not only pop album, melainkan sebuah catatan asmara yang ditulis dengan lirik yang sederhana dan melodi yang mudah dicerna.

6. .Feast (Membangun & Menghancurkan)


“.Feast yang lama sudah mati!"

Kutipan di atas muncul dari Baskara Putra setelah merilis album “Membangun & Menghancurkan”, yang kemudian diamini oleh personel .Feast yang lain.

Kalimat di atas seakan jadi warning attention kepada para penggemar .Feast, bahwa mereka akan disuguhkan warna dan musik yang berbeda dibanding album-album sebelumnya.

Tidak seperti album “Multiverse” yang penuh dengan distorsi, atau album “Abdi Lara Insani” yang syarat akan kemarahan yang menggebu-gebu.

.Feast di album “Membangun & Menghancurkan” nekat menjauh dari isu-isu sosio-politis yang sudah melekat di band asal Jakarta ini. Maturity influences how they make music!

Lewat album ini, .Feast tidak sekadar bermain dengan kata-kata atau notasi musik; mereka mengukir lanskap suara yang menciptakan dunia baru di setiap trek, menawarkan sensasi yang memikat sekaligus menggugah.

5. RAN (TEATER NESTAPA)


Butuh waktu 8 tahun bagi RAN untuk akhirnya merilis album baru, penantian panjang ini kemudian terbayarkan lewat album “TEATER NESTAPA”.

Album ini bukan sekadar kumpulan lagu, melainkan sebuah perjalanan yang membawa pendengar ke dalam drama kehidupan yang penuh luka, harapan, dan renungan.

Sesuai judul albumnya, setiap trek dalam album ini seakan menjadi panggung dengan berbagai macam tema. Aransemen yang beragam—mulai dari sentuhan jazz, akustik, hingga pop yang lebih kontemporer—menciptakan dinamika yang tak monoton.

Lewat “TEATER NESTAPA”, RAN berhasil melibatkan pendengarnya untuk berperan dalam setiap trek yang mereka suguhkan.

4. Sal Priadi (MARKERS AND SUCH PENS FLASHDISKS)


“MARKERS AND SUCH PENS FLASHDISKS” adalah album yang penuh dengan kejutan dan eksperimentasi musikal yang disuguhkan oleh Sal Priadi.

Mendengarkan album “MARKERS AND SUCH PENS FLASHDISKS” seperti membaca jurnal pribadi seorang Sal Pribadi.

Dengan musik yang minimalis namun penuh makna, album ini seakan mengajak kita untuk merenung tentang bagaimana kita menyimpan dan mengingat kenangan di dunia yang semakin terhubung secara digital.

Sal Priadi mampu menyeimbangkan ketukan yang eksperimental dengan melodi yang tetap mudah dinikmati, sehingga menciptakan atmosfer yang pas untuk merenung sekaligus mengajak kita untuk bergerak mengikuti irama.

Setiap lagu di “MARKERS AND SUCH PENS FLASHDISKS” terasa seperti catatan dalam sebuah jurnal hidup yang tertulis dengan tinta digital, merekam kenangan yang akan terus terjaga dalam memori kita.

3. MALIQ & D'Essential's (CAN MACHINES FALL IN LOVE?)


Melewatkan “CAN MACHINES FALL IN LOVE?” dalam daftar ini sepertinya tidaklah sopan.

Lewat album ini, Maliq & D'Essential tidak hanya memukau dengan aransemen yang kaya dan berlapis, tetapi juga menantang kita untuk berpikir lebih jauh tentang hubungan antara manusia dan teknologi.

MALIQ & D'Essential's tidak pernah berubah, mereka selalu bisa membuat orang merasa jatuh cinta sekaligus patah hati lewat lagu-lagunya. Maka tidak heran jika nama mereka selalu ada di daftar line up pensi atau festival musik bahkan hingga saat ini, cause Maliq MALIQ & D'Essential's always been related!

Selayaknya musisi dengan usia karier yang panjang, MALIQ & D'Essential's sudah melewati fase perdebatan antara ‘pendengar lama’ dan ‘pendengar baru’. 

Album “CAN MACHINES FALL IN LOVE?” boleh jadi banyak dikritisi oleh ‘pendengar lama’ MALIQ & D'Essential's. Padahal, mereka hanya lupa jika usia membuat mereka tak lagi merasakan romansa yang sama.

Jika album “1st” adalah album yang menemani masa remaja generasi milenial, maka album “CAN MACHINES FALL IN LOVE?” menemukan pendengar barunya pada generasi z.

A big shoutout to Maliq and D'Essential for lasting around across generations and still being loved and honoured by everyone!

2. Barasuara (Jalaran Sadrah)


Saat album “Jalaran Sadrah” rilis, saya merasakan sensasi yang sama seperti saat “Taifun” rilis pada 2015 lalu.

Seperti apa yang menjadi ciri khas Barasuara, “Jalaran Sadrah” dibuat dengan memadukan lirik yang tajam serta musik yang penuh energi.

“Jalaran Sadrah” dibuka dengan musik progresif di lagu “Antea”, lalu ditutup dengan musik melankolis serta groove yang memanjakan telinga di lagu “Sumarah (Manusia)".

Sebagai band, Barasuara kerap menggunakan musik untuk menyampaikan pesan kritik sosial. Pada lagu “Habis Terang” misalnya, Barasuara menanggapi pembunuhan massal yang dilakukan Israel kepada Palestina. Dalam hal ini Barasuara jauh lebih konsisten dengan pesan dalam lagunya dibandingkan dengan Thom Yorke.

Dengan “Jalaran Sadrah”, Barasuara kembali membuktikan diri sebagai salah satu pionir dalam scene musik Indonesia yang berani bereksperimen, menghadirkan sesuatu yang segar, dan tetap menjaga relevansi dengan isu-isu kontemporer.

Barasuara sekali lagi membuktikan bahwa mereka bukan hanya sekadar band rock, tetapi juga pencerita yang bisa mengajak kita berpikir lebih dalam tentang dunia di sekitar kita.

1. Bernadya (Sialnya, Hidup Harus Tetap Berjalan)


Setiap masa, Indonesia selalu punya solois perempuan yang mewakili eranya masing-masing, dari Nike Ardilla, Raisa, hingga kini Bernadya.

Tak perlu musik yang menggugah atau lirik yang rumit, Bernadya mampu menerjemahkan patah hati dengan musik dan lirik yang sederhana.

Dengan delapan trek di album “Sialnya, Hidup Harus Tetap Berjalan”, Bernadya tampak sebagai ikon patah hati nasional. Bahkan orang yang sedang tidak patah hati pun ikut merasakan getirnya saat mendengar 8 lagu di album ini.

Tak perlu punya khazanah musik yang luas, hanya butuh ketenangan untuk bisa meresapi tiap trek di album “Sialnya, Hidup Harus Tetap Berjalan”.

Suara lembut Bernadya dengan kepiawaiannya menulis lirik yang jujur, kemudian disempurnakan Petra Sihombing dan Rendy Pandugo sebagai produser.

Alhasil, album ini kemudian dibanjiri banyak penghargaan, termasuk capaiannya di AMI Awards 2024.

Berita Lainnya