Kawula Muda, yuk lebih aware dengan pemanasan global!
Kawula Muda, studi terbaru mengungkapkan jika laju pemanasan global tidak terkendali, kehidupan manusia bisa saja tidak berkembang.
Mengutip studi yang diterbitkan dalam jurnal Nature Sustainability, kenaikan suhu panas dunia menyebabkan miliaran orang tinggal di tempat-tempat di mana kehidupan manusia tidak berkembang.
Hal ini disebabkan manusia harus beradaptasi dengan suhu bumi yang baru dan meninggalkan temperatur atau iklim yang selama ribuan tahun ini cocok dengan manusia.
Timothy Lenton, Direktur Institut Sistem Global di Universitas Exeter Inggris, salah satu dari dua penulis utama studi tersebut mengatakan jika suhu panas dunia menempatkan sepertiga populasi global hidup dalam kondisi yang tidak mendukung keberlangsungan hidup manusia.
Saat ini, dunia berada di jalur pemanasan 2,7 Celsius yang berarti, 2 miliar orang akan mengalami suhu tahunan rata-rata di atas 29 Celsius pada 2030. Di masa lalu, sangat sedikit manusia yang bisa hidup dalam suhu ini.
Para ilmuwan bahkan menilai hal ini menjadi tanda-tanda mengkhawatirkan karena pemanasan global terjadi semakin cepat dan tidak melambat, Kawula Muda.
Melansir studi tersebut, laju pemanasan global yang saat ini tidak terkendali akan mendorong miliaran orang keluar dari ceruk iklim.
Ceruk iklim sendiri adalah suhu di mana manusia dapat berkembang. Hal ini menyebabkan hampir 1 miliar orang memilih untuk bermigrasi ke tempat yang lebih dingin akibat suhu panas.
Sedangkan, negara-negara dengan populasi besar dan sudah memiliki iklim yang hangat dipastikan akan sulit berkembang jika kenaikan suhu panas terjadi.
Contoh nyata dalam hal ini adalah India dan Nigeria yang sudah menghadapi perubahan suhu terburuk saat ini.
India sudah menderita gelombang panas yang ekstrem, dan sebuah studi baru-baru ini menemukan bahwa lebih dari sepertiga kematian terkait panas di musim panas dari 1991-2018 terjadi sebagai akibat langsung dari pemanasan global yang disebabkan oleh manusia.
"Itu adalah pembentukan kembali yang mendalam dari kelayakhunian permukaan planet dan berpotensi menyebabkan reorganisasi skala besar di mana orang tinggal," kata Timothy Lenton.
Prof Chi Xu, di Nanjing University di China yang juga bagian dari tim peneliti mengatakan meski baru kurang dari 1% populasi yang terpapar panas berbahaya, kondisi ini cenderung jauh lebih kering dan secara historis tidak mendukung populasi manusia yang padat, Kawula Muda.
Penelitian tersebut melaporkan jika panas yang ekstrem akan menurunkan hasil panen, meningkatkan konflik, meningkatkan penyebaran penyakit, dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.
Tidak hanya itu, sejak lama, para ilmuwan telah memperingatkan jika kenaikan suhu akan menyebabkan bencana dan perubahan yang tidak dapat diubah.
“Suhu setinggi itu (di luar ceruk) telah dikaitkan dengan masalah termasuk peningkatan kematian, penurunan produktivitas tenaga kerja, penurunan kinerja kognitif, gangguan belajar, efek samping yang merugikan. hasil kehamilan, penurunan hasil panen, peningkatan konflik dan penyebaran penyakit menular.”
Kematian menjadi salah satu dampak yang dikhawatirkan akibat suhu panas dunia. Sebab, jika kelembapan sangat tinggi, tubuh tidak dapat mendinginkan diri lagi hingga mencapai suhu yang dapat mempertahankan fungsi normal.
Kawula Muda, para peneliti juga menyebut Indonesia sebagai salah satu negara yang terancam akibat suhu panas dalam studinya.
“Jika Bumi menghangat 2,7 derajat Celsius, India, Nigeria, Indonesia, Filipina, dan Pakistan akan menjadi lima negara teratas dengan populasi terbanyak yang terpapar tingkat panas berbahaya,” tulis studi tersebut.
Skenario terburuknya, jika Bumi menghangat 3,6 atau bahkan 4,4 derajat Celsius pada akhir abad ini, setengah dari populasi dunia akan berada di luar lekuk iklim, Kawula Muda.
Para ahli mengatakan masih ada waktu untuk memperlambat laju pemanasan global dengan beralih dari pembakaran minyak, batu bara, dan gas menuju energi bersih, namun ‘jendelanya’ sudah tertutup.
“Kita telah terlambat untuk mengatasi perubahan iklim dengan benar sehingga kita sekarang berada pada titik di mana untuk mencapai tingkat perubahan yang kita butuh kan, berarti lima kali percepatan pengurangan emisi gas rumah kaca atau dikarbonisasi karbon,” ujar peneliti.
Tidak hanya itu, para ilmuwan juga terkejut betapa manusia masih tetap sangat terbatas dalam hal distribusi mereka terhadap perubahan iklim saat ini.
Kawula Muda, mari kita jaga bumi bersama.