Hai Kawula Muda, seru nih kalau Indonesia ada aturan ini juga!
Baru-baru ini Portugal mengesahkan Undang-Undang baru yang menghebohkan berisi tentang larangan bagi pengusaha atau bos menghubungi karyawannya untuk urusan pekerjaan di luar jam kerja, termasuk melalui telepon, pesan singkat, maupun email.
Melansir CNN, 11 Desember 2021, majikan harus menghormati privasi bekerja, inspirasi dan insight di email kamu.
Pelanggaran apapun, merupakan pelanggaran serius dan dapat mengakibatkan denda. Kebijakan baru Portugal adalah bagian dari Undang-Undang yang mengatur bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH).
Pandemi Covid-19 memang membuat banyak pekerja harus melakukan WFH. Namun, tidak semua merasa senang dengan cara kerja WFH tersebut.
Hal itu lantaran, banyak karyawan yang terpaksa harus menerima panggilan dari bos atau klien di luar jam kerja. Padahal, meski terkesan sepele, hal tersebut bisa membuat karyawan jauh lebih stres.
Selain Portugal, ternyata sudah ada beberapa negara lainnya yang sudah lebih dulu memberlakukan aturan serupa. Bahkan ada yang sudah melakukan jauh sebelum pandemi melanda.
Berikut negara-negara yang menetapkan Undang-undang yang melarang bos menghubungi pekerja di luar jam kerja selain Spanyol.
Melansir Swaab pada 10 April 2014, perusahaan-perusahaan yang berbasis di Jerman termasuk Volkswagen, BMW, Puma, dan Doutsche Telekom telah memberlakukan pembatasan kontak setelah jam kerja dengan staf.
Hal itu dilakukan untuk mencegah staf kelelahan yang disebabkan oleh stres yang tidak semestinya.
Volkswagen khususnya, telah memperkenalkan kebijakan untuk menghentikan semua email yang diteruskan ke staf mereka setengah jam sebelum akhir hari kerja.
Sedangkan perusahan lain telah membuat pernyataan bahwa karyawan tidak akan dihukum karena mematikan posel mereka atau gagak untuk membalas email atau pesan di waktu luang mereka sendiri.
Kementerian Tenaga Kerja Jerman mengikuti langkah-langkah perusahaan raksasa itu dalam upaya untuk melindungi kesehatan menal pekerja.
Pada 10 Agustus 2017, Majelis Nasional Korea Selatan meneruima pengajuan dua Rancangan Undang-Undang (RUU ).
Dilansier Straits Times, kedua RUU itu diajukan untuk merevisi UU Perburuhan agar menghentikan pemberi kerja dan manajer memberikan perintah terkait pekerjaan.
Hal itu karena pemberi kerja dan manajer baik secara langsung maupun tidak langsung kerap membuat pekerja siaga 24 jam.
Mereka menghubungi para pekerja melalui messenger seluler, panggilan telpon, maupun media sosial.
Perwakilan Lee Yong Ho dari Partai Rakyat oposisi kecil yang memimpin penyusunan RUU tersebut mengatakan, banyak warga Korea Selatan mengeluhkan lingkungan kerja yang penuh tekanan, mengatakan bahwa mereka siap siaga 24 jam sehari karena pesan terkait pekerjaan yang muncul setiap saat setelah jam kartor.
Seorang pekerja kantoran berusia 26 tahun, Sally Chang, mengungkapkan dirinya sangat frustasi pada hari Minggu, karena atasannya terus mengirim pesan di KakaoTalk.
Diberitakan CNN, 2 Januari 2017, Undang-Undang Perburuhan yang berlaku mulai 1 Januari 2017 dengan memberi karyawan hak untuk memutuskan sambungan dari email, telepon, dan perangkat elektronik lainnya begitu hari kerja mereka berakhir.
Aturan tersebut mengharuskan perusahaan dengan 50 atau lebih karyawan untuk menegoisasikan pedoman email baru di luar kantor dengan staf.
Perusahaan memiliki kewajiban untuk mengatur penggunaan email untuk memastikan karyawan mendapatkan istirahat dari kantor.
Kementerian Tenaga Kerja mengatakan, langkah-langkah tersebut dirancang untuk memastikan penghormatan terhadap waktu istirahat dan keseimbangan antara pekerjaan dan keluarga dan kehidupan pribadi.
Jika manajemen dan staf tidak dapat menyetujui aturan baru, perusahaan harus menerbitkan piagam utnuk menentukan dan mengatur kapan karyawan harus dapat berhenti bekerja.
Melansir laman SHRM, sebuah hukum perlindungan data Spanyol memberikan hak digital untuk karyawan dan bos, termasuk hak pekerja untuk melepaskan semua perangkat digital di luar waktu kerja.
Itu artinya perusahaan harus menghormati waktu istirahat, hari libur, dan privasi pribadi dan keluarga para karyawan. Tujuannya adalah untuk mencegah karyawan menderita “kelelahan komputer”.
Kebijakan itu berlaku baik untuk karyawan di sektor swasta maupun publik.