Kalau sudah merasa ada yang gak beres dengan kesehatan jiwa lo, jangan ragu untuk bercerita ya, Kawula Muda :)
Maraknya pemberitaan kasus bunuh diri di kalangan remaja membuktikan tingginya urgensi penanganan masalah mental anak muda Indonesia.
Pada 10 Oktober lalu, dunia telah merayakan Hari Kesehatan Mental Sedunia. Namun, penelitian yang dilakukan University of Queensland dan Johns Hopkins Bloomberg School of Public membuktikan bagaimana kesehatan mental belum terwujud secara maksimal di Indonesia.
Berjudul Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), penelitian tersebut mencoba menggali isu kesehatan mental di Indonesia.
Hasilnya sebenarnya tidak mengejutkan. Didukung oleh awareness terkait kesehatan mental yang rendah dari golongan usia tua dan sedikitnya layanan kesehatan mental di Indonesia, banyak remaja yang terdiagnosis memiliki gangguan mental. Sekitar 1 dari 20 remaja Indonesia ditemukan mengalami berbagai gejala gangguan mental.
Artinya, jika menghitung jumlah remaja di Indonesia, sekitar 2.45 juta remaja Indonesia sebenarnya masuk ke dalam kelompok Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Usia 16 hingga 24 tahun merupakan waktu-waktu saat seorang remaja mengalami transisi menuju dewasa muda. Mereka pun harus berhadapan dengan berbagai tantangan dan pengalaman baru.
Karena itu, bukan tidak mungkin kesehatan mental para anak muda tersebut terguncang. Hal itu mengingat mereka tengah mengalami perkembangan biologis, psikologis, hingga emosional yang signifikan.
Riset yang dilakukan oleh beberapa peneliti dari Universitas Indonesia dan Universitas Padjajaran mencoba membuktikan asumsi tersebut. Berjudul Mental Health Problems and Needs among Transitional-Age Youth in Indonesia artikel ilmiah tersebut dipublikasi pada 2021 lalu.
Lewat survei, riset dilakukan kepada 292 remaja dengan usia 16 hingga 24 tahun. Hasilnya, 95.4% partisipan pernah mengalami gejala kecemasan atau anxiety. Di sisi lain, 88% responden juga mengaku pernah mengalami depresi.
Masalahnya, sebanyak 96.4% menyatakan kurang memahami cara mengatasi gangguan kesehatan mental tersebut. Hal yang biasa mereka lakukan adalah bercerita kepada teman (98.7%), menghindari masalah (94.1%), dan mencari informasi tentang cara mengatasi dari internet (89.8%).
Namun, hal yang mengkhawatirkan adalah banyaknya responden yang mengaku berusaha ‘menyakiti diri sendiri’ (sekitar 51.4%). Di sisi lain, 57.8% responden mengaku pernah menjadi putus asa dan ingin mengakhiri hidup.
Mereka mencari pertolongan melalui teman (70,5%), psikolog (49,9%), keluarga (39,2%). Sementara, hanya seperempat dari mereka yang datang ke praktisi kesehatan (23,7%) dan konselor (21,9%) untuk meminta bantuan.
Menyusul penelitian yang dilakukan oleh University of Queensland yang telah disebutkan di awal tersebut, para peneliti mencoba mengurutkan gangguan mental yang paling umum dijumpai di remaja Indonesia.
Hasilnya, gangguan kecemasan (anxiety disorder) merupakan gangguan mental paling umum dengan angka 3.7%. Hal itu disusul dengan gangguan depresi mayor (1.0%), gangguan perilaku (0.9%), gangguan stres pasca trauma atau PTSD (0.5%), dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas atau ADHD (0.5%).
Mengutip TheConversation, gangguan kecemasan sebenarnya terbagi atas dua jenis. Pertama, fobia sosial. Misalnya saja ketakutan berlebih terhadap situasi khusus seperti presentasi di kelas.
Kedua, gangguan kecemasan menyeluruh. Hal ini dapat timbul karena terkait dengan berbagai aktivitas, misalnya ujian yang akan segera berlangsung sehingga cemas akan segala hal, bahkan pensil yang tidak runcing sekalipun.
Walau umum diderita, bukan berarti gangguan kecemasan boleh dibiarkan begitu saja, Kawula Muda! Penelitian pun menyebut gangguan kecemasan dapat menurunkan kualitas hidup secara keseluruhan. Pada remaja, hal ini juga dapat mengganggu aktivitas bersama teman-keluarga, nilai akademis, hingga distres personal.
Di Indonesia, sebenarnya telah terdapat banyak dokter ahli jiwa dan psikolog klinis yang mumpuni. Namun, jumlah layanan tersebut tidak mumpuni dan terdapat masalah ketersebaran yang tidak merata.
The Conversation turut menyebut hanya terdapat 0.29% psikiater dan 0.18% psikolog per 100.000 penduduk. Angka ini tentu tidak dapat mencangkup seluruh permasalahan mental para remaja, terutama apabila ditambah dengan dewasa tua serta anak-anak.
Hal ini sudah sepatutnya menjadi urgensi bagi pemerintah Indonesia. Remaja Indonesia perlu fasilitas layanan jiwa yang mudah dijangkau, profesional, dan tidak mahal. Penelitian yang dilakukan Universitas Indonesia dan Universitas Padjajaran sebelumnya juga menyebut banyaknya kritik akan layanan kesehatan Indonesia yang cenderung menghakimi dan tidak profesional.
Apabila terus dibiarkan, tak heran muncul ‘ilmu-ilmu’ baru di media sosial. Belakangan ini, juga ramai disebut banyaknya konten edukasi kesehatan mental di media sosial.
Sayangnya, hal itu juga menyebabkan penghakiman diri dari pengguna media sosial yang mencoba menebak-nebak apakah mereka mengalami suatu gejala kesehatan mental atau tidak. Padahal, terdapat metode resmi dan profesional yang seharusnya diikuti oleh para pengguna media sosial tersebut sebelum mendapat diagnosis permasalahan kesehatan mental yang dialami.
Karena itu, pemerintah Indonesia sudah seharusnya bertindak cepat dan tegas. Tidak boleh lagi ada korban jiwa berjatuhan karena masalah kesehatan mental yang kian berlarut karena tidak dibantu para tenaga profesional secara cepat.