Harus tetap bijak ya Kawula Muda!
Di era digital yang serba cepat ini, banyak orang merasa terjebak dalam arus informasi dan pengalaman orang lain, yang membuat mereka mudah merasakan FOMO, atau fear of missing out.
Dengan media sosial yang memungkinkan kita untuk melihat momen-momen berharga dari kehidupan orang lain secara real-time, tidak heran jika perasaan ingin terlibat dan tidak ketinggalan semakin meningkat.
Rata-rata orang menghabiskan 147 menit setiap hari di media sosial. sehingga kita lebih sadar akan cara orang lain menggunakan waktu mereka.
Setiap acara, liburan, atau bahkan makan di luar tampaknya selalu didokumentasikan untuk dibagikan kepada publik.
Bagi sebagian orang, arus dokumentasi yang terus-menerus ini bisa memicu FOMO, atau ketakutan akan kehilangan sesuatu.
Meskipun FOMO bukan kondisi psikologis yang diakui secara resmi, fenomena ini dapat memengaruhi kesehatan mental dan fisik.
Media sosial memang menjadi salah satu penyebab utama FOMO, tetapi bukan satu-satunya.
Perasaan ingin diterima dan menjadi bagian dari kelompok sudah ada jauh sebelum era internet.
Berdasarkan World Journal of Clinical Cases, istilah "fear of missing out" mulai dikenal luas pada tahun 2004. Tahun tersebut bertepatan dengan peluncuran Facebook, salah satu platform online terbesar pertama (kecuali MySpace) yang memungkinkan orang untuk secara publik menunjukkan pertemanan dan aktivitas mereka melalui pembaruan status dan foto.
"Psikolog mulai menggunakan istilah FOMO pada awal tahun 2000-an untuk menggambarkan fenomena yang terkait dengan penggunaan situs jejaring sosial. Hal ini telah mendapatkan perhatian yang lebih besar selama bertahun-tahun seiring dengan meningkatnya kehadiran media sosial kita. FOMO merupakan perasaan terlewatkan yang bisa menimbulkan kecemasan dan dorongan untuk terus memeriksa media sosial agar tetap terhubung," kata Natalie Christine Dattilo, Ph.D, pendiri Priority Wellness Group dan seorang instruktur psikologi di Harvard.
"Perasaan ini juga terkait dengan ketakutan akan pengecualian sosial, yang sudah ada sejak sebelum era media sosial." jelasnya.
FOMO mungkin memasuki kamus bahasa kita selama munculnya media sosial, tetapi Erin Vogel, Ph.D., seorang psikolog sosial dan asisten profesor di University of Oklahoma Health Sciences Center, menekankan bahwa perasaan kehilangan ini telah ada jauh lebih lama.
"Manusia ingin merasa seperti kita termasuk, seperti kita termasuk dalam suatu kelompok," katanya.
Cara lain yang telah dipelajari oleh para psikolog tentang FOMO adalah dengan berfokus pada bagaimana perasaan "berada" dapat memengaruhi harga diri kita, lanjut Dr. Vogel.
"Ketika kita merasa seperti kita adalah bagian dari komunitas dan orang lain menyetujui kita, kita merasa lebih baik tentang diri kita sendiri. Ketika kita tidak mendapatkan rasa persetujuan komunitas itu, kita merasa lebih buruk tentang diri kita sendiri," katanya.
Mengenai penggunaan pertama akronim FOMO, pujian sering diberikan kepada Patrick McGinnis, seorang penulis yang menggunakannya dalam sebuah artikel yang ia tulis untuk majalah Harvard Business School, The Harbus, pada tahun 2004 (McGinnis sekarang adalah seorang investor ventura, penulis terlaris dan memiliki podcast bernama FOMO Sapiens).
Dalam artikelnya, McGinnis menggunakan "takut ketinggalan" untuk menggambarkan mengapa orang sering kali menjadwalkan diri mereka secara berlebihan.
Salah satu contoh nyata dari fenomena FOMO ini adalah pembelian blind box The Monster Labubu.
Akhir-akhir ini ramai sekali berita terkait pembelian Labubu yang sedang viral untuk dijadikan gantungan tas atau hanya sekedar koleksi saja.
Terlebih saat Labubu dipromosikan oleh selebriti Lisa BLACKPINK yang membuat konsumen menjadi sangat luar biasa antusias.
Labubu sering kali menjadi sorotan di media sosial, dengan banyak influencer dan teman-teman yang memamerkan produk tersebut.
Ketika seseorang melihat orang lain memiliki dan menikmati Labubu, rasa ingin tahu dan keinginan untuk ikut serta muncul.
Produk seperti Labubu sering kali dipasarkan dengan citra eksklusif, dan menciptakan kesan bahwa hanya orang-orang tertentu yang mampu memilikinya, terlebih Labubu dijual oleh pasaran bisa mencapai 1-18 juta.
Hal ini menambah daya tarik, karena banyak orang ingin menunjukkan status sosial mereka.
Dengan memiliki Labubu, seseorang merasa lebih diakui dan dihargai di lingkungannya.
Sering kali, Labubu dipasarkan dengan jumlah terbatas. Kebijakan ini menciptakan rasa urgensi yang mendorong orang untuk segera melakukan pembelian sebelum kehabisan.
Keterbatasan ini memperkuat rasa FOMO, membuat orang merasa harus cepat bertindak agar tidak kehilangan kesempatan.
Membeli Labubu bisa memberikan kepuasan emosional, terutama jika produk tersebut memberikan kenikmatan atau pengalaman baru.
Setelah melihat orang lain menikmati Labubu, seseorang mungkin merasa terdorong untuk merasakan kebahagiaan yang sama.
Memiliki Labubu sering kali berhubungan dengan menjadi bagian dari komunitas tertentu.
Banyak orang merasa lebih terhubung dengan teman atau kelompok mereka ketika mereka memiliki barang yang sama.
Mungkin, dengan membeli Labubu dapat memberikan kesenangan sesat, ditambah, Labubu merupakan bagian tren yang dapat berubah-ubah seiring berjalannya waktu.
Tren Labubu memang memberikan pengaruh ekonomi yang besar, terutama bagi perusahaan yang memproduksi mainan ini.
Namun, tren ini juga memunculkan masalah sosial, seperti penipuan dan keluhan mengenai pembayaran yang dialami oleh beberapa pengguna di Thailand.
Selain itu, banyak orang yang rela mengantre sejak subuh untuk mendapatkan Labubu, bahkan beberapa di antaranya terlibat pertengkaran karena tidak mendapatkan boneka atau antriannya diambil oleh orang lain.
Bagi banyak orang, Labubu lebih dari sekadar mainan, ia merupakan simbol identitas dan status sosial.
Namun, muncul pertanyaan apakah obsesi untuk mengumpulkan lebih banyak Labubu sejalan dengan nilai-nilai keberlanjutan?
Konsumsi berlebihan tidak hanya berdampak pada keuangan kita, tetapi juga pada lingkungan.
Produksi massal Labubu menghasilkan limbah plastik yang sulit terurai.
Menurut penelitian yang dipublikasikan di Journal of Industrial Ecology (2019), peningkatan konsumsi berlebih berkontribusi secara signifikan terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca, yang berujung pada perubahan iklim dan pemanasan global.
Lalu, bagaimanakah cara kita untuk menikmati tren labubu tanpa harus FOMO dan mengkonsumsi secara berlebihan?
Sebelum Kawula Muda mengambil keputusan untuk membeli, sebaiknya luangkan waktu sejenak untuk merenungkan beberapa pertanyaan berikut ini.
Hal ini merupakan hal penting dalam menentukan apakah kita benar-benar butuh barang tersebut, atau hanya sekedar mencukupi status sosial saja?
Membali apapun barang yang kita sukai merupakan hal yang wajar-wajar saja, tetapi kita harus tetap bijak dalam menkonsumsi sesuatu agar tidak terjadi pemborosan atau menjadi konsumsi yang berlebihan.