Standarisasi ini juga banyak dipengaruhi oleh media sosial, Kawula Muda!
Sekarang ini banyak cowok yang jadi korban fragile masculinity, Kawula Muda.
Tapi sayangnya, topik ini jarang banget dibahas, bahkan ada cowok yang malah ngerasa tersinggung kalau diajak ngobrol soal ini.
Jadi, apa sih maksudnya, dan gimana kita tahu kalau kita ngalamin hal ini?
Fragile masculinity itu istilah buat ngejelasin rasa takut atau cemas yang dirasakan cowok karena merasa ada hal-hal tertentu yang bikin mereka dianggap kurang jantan di mata orang lain.
Media sosial dan masyarakat juga sering banget bikin standar kejantanan yang gak jelas.
Ini membuat banyak cowok takut nunjukin emosi karena khawatir dibilang lemah atau gak macho.
Intinya, fragile masculinity muncul karena cowok takut kelihatan terlalu feminin atau lemah, jadi kayak kehilangan identitas sebagai pria di mata orang lain.
Ngalahin fragile masculinity bukan berarti harus ngelepas sisi maskulin, tapi lebih ke nemuin versi maskulinitas yang lebih sehat dan seimbang.
Ini butuh keberanian, introspeksi, dan kesediaan buat ngerima bahwa jadi cowok gak selalu harus ngotot sesuai standar yang ada.
Berikut beberapa cara yang bisa lo terapkan:
Banyak cowok kesulitan buat dengerin cerita orang lain tanpa buru-buru menghakimi atau kasih solusi.
Belajar mendengarkan dengan empati berarti kita coba paham apa yang dirasakan orang lain tanpa ngejudge.
Ini juga termasuk belajar terbuka sama pengalaman dan perspektif orang lain, terutama soal emosi atau peran gender, biar pandangan kita gak kaku dan cuma ngikutin standar lama.
Refleksi diri artinya kita mengambil waktu buat mikir, kenapa sih kita bisa ngerasa marah, malu, atau defensif waktu ada hal-hal tertentu yang dianggap “gak cowok”?
Misalnya, kenapa nangis dianggap lemah? Dengan mengenali pola pikir ini, kita bisa mulai lepas dari standar yang gak sehat dan lebih nyaman sama diri sendiri.
Jangan cuma ngikutin apa yang dibilang media atau lingkungan soal gimana cara jadi “pria sejati”.
Mulailah baca, belajar, atau ngobrol soal maskulinitas dari sudut pandang yang berbeda.
Cari tahu bahwa jadi cowok gak harus keras, selalu kuat, atau gak pernah nunjukin emosi.
Kita tetap cowok meskipun bisa bersikap lembut atau rentan.
Proses ini gak cuma buat diri kita sendiri, tapi juga buat bantu orang lain.
Kalau ada temen atau orang di sekitar yang lagi berusaha ninggalin stigma tentang maskulinitas, dukung mereka.
Misalnya, kasih ruang buat mereka cerita tanpa takut dihakimi, atau hargai pilihan mereka untuk gak selalu tampil macho.
Dengan pelan-pelan praktek hal-hal ini, cowok bisa ikut bikin perubahan ke arah maskulinitas yang lebih positif, baik buat dirinya sendiri maupun orang-orang di sekitarnya.