Viral Video Satire Bintang Emon, Mengapa Pejabat Jepang Sering Mengundurkan Diri?

Kawula Muda, Bintang Emon berikan sindiran terhadap para pejabat di Indonesia.

Yoichi Masuzoe, Gubernur Tokyo, Jepang saat mengundurkan diri. (TWITTER/BBC ASIA)
Mon, 10 Oct 2022


Komika Bintang Emon beberapa waktu lalu membuat konten tentang pejabat Jepang yang sering kali mundur dari jabatannya setelah melakukan suatu kesalahan.

Konten tersebut disinyalir sebagai bentuk sindiran Bintang Emon kepada para pejabat Tanah Air yang saat ini tengah menjadi sorotan namun enggan mundur dari jabatannya padahal telah melakukan kesalahan.

Dengan gaya satire, Bintang Emon mengatakan bahwa seharusnya para pejabat Jepang itu bisa menyalahkan pihak lain terlebih dulu sebelum mengundurkan diri. Bintang juga mengaku berani mengadu mental antara pejabat Jepang dan pejabat Indonesia.

Karena video konten terbarunya itu, nama Bintang Emon pun sempat menduduki jajaran trending topic Twitter.

Menyimak video konten Bintang Emon, timbul pertanyaan mengapa pejabat Jepang sering mengundurkan diri dari jabatannya?

Mengundurkan diri hal lumrah

Di Negeri Sakura mundur dari sebuah jabatan menjadi hal yang lumrah dan sering dilakukan oleh sejumlah pejabat. Hal tersebut dinilai sebagai langkah terakhir untuk ‘menjaga’ kehormatan mereka sebagai pemimpin. Banyak hal yang biasanya membuat para pejabat di Jepang memutuskan untuk mundur dari posisi mereka tanpa harus diminta.

Dalam sejarah Jepang, tak sedikit orang-orang penting di Jepang memilih untuk mundur karena merasa gagal memenuhi janji hingga terbelit skandal. Saat mengumumkan pengunduran dirinya, para pejabat tersebut biasanya membungkuk sebagai bentuk permintaan maaf yang mendalam.

Budaya mundur dari jabatan di Negeri Matahari Terbit ini memang telah mendarah daging di negara tersebut. Ini karena mereka selalu menanamkan budaya malu di tengah masyarakat.

Bahkan budaya malu ini berkaitan erat dengan tradisi Harakiri yang dipegang teguh masyarakatnya. Masyarakat Jepang percaya, lebih baik mati dengan Harakiri untuk menjaga kehormatan diri dibanding harus menanggung malu sepanjang hidup.

Berkaitan dengan Harakiri

Harakiri diambil dari dua suku kata yaitu Hara yang berarti perut dan Kiri yang artinya menusuk, merobek, atau memotong. Jadi, Harakiri merupakan ritual bunuh diri dengan menusukkan pisau ke perut.

Harakiri atau yang sering disebut juga dengan ritual Seppuku adalah tradisi bunuh diri yang dipopulerkan oleh para samurai Jepang. Ritual Harakiri bisanya dilakukan ketika mereka kalah saat melawan musuh. Harakiri juga menjadi hukuman mati pada para samurai yang melakukan pelanggaran.

Harakiri telah ada sejak abad ke-12 dan dilakukan atas dasar pengabdian yang besar dan tanpa batas pada kaisar sebagai penguasa. Harakiri juga sebagai bukti pengabdian mendalam seorang bawahan yang diekspresikan melalui kematian.

Harakiri memang bukan tindakan bunuh diri ‘biasa’. Karena sebagai bagian dari tradisi, Harakiri justru butuh sejumlah persiapan, termasuk menyiapkan pisau yang bakal digunakan untuk ritual tersebut.

Pisau yang digunakan untuk Harakiri disebut dengan Wakizazhi atau Tanto. Pisau berukuran 30-60 cm ini diletakkan di lantai dan dibungkus kertas atau kain putih.

Pisau tersebut lalu ditusukkan ke bagian perut yang disebut Tanden dan dipercaya menjadi pusatnya Chi atau jiwa manusia. Setelah itu, barulah algojo menjalankan tugasnya untuk mempercepat proses kematian.

Para pelaku harakiri dilarang untuk mengeluh, mengerang, ataupun memperlihatkan wajah ketakutan dan kesakitan. Mereka harus yakin dengan apa yang dilakukannya dan meninggal layaknya seorang ksatria Jepang.

Namun, sejak 1868 tradisi harakiri sudah dilarang di Jepang. Tetapi, tidak sedikit juga yang masih memegang tegun tradisi ini hingga saat ini.

Harakiri di era modern

Di era modern, Harakiri tetap dilestarikan namun disesuaikan dengan kemajuan zaman. Harakiri memberikan motivasi pada masyarakat Jepang untuk selalu menjaga kehormatan diri dan keluarganya di depan umum dengan cara taat peraturan.

Ketika seseorang melakukan kesalahan, maka orang tersebut harus merasa malu dan mengundurkan diri. Makanya enggak heran kalau banyak pejabat Jepang yang memilih untuk mengundurkan diri dari jabatannya, terlepas mereka terbukti melakukan kesalahan atau tidak.

Pada 3 September 2021, Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga memilih untuk mengundurkan diri karena pemerintahannya dinilai gagal menangani Covid-19. Perdana Menteri Shinzo Abe juga memilih untuk mundur dari jabatannya pada Agustus 2020 karena dia tidak ingin penyakitnya mengganggu kinerjanya.

Perdana Menteri Jepang Yukio Hatoyama juga memilih mundur dari jabatannya padahal baru delapan bulan dilantik. Yukio Hatoyama mengundurkan diri karena ia merasa gagal memenuhi janji kampanye untuk memindahkan pangkalan marinir Amerika Serikat ke Pulau Okinawa.

Setelah satu tahun memimpin, Perdana Menteri Naoto Kan juga mengundurkan diri karena merasa gagal memulihkan Jepang setelah dihantam tsunami yang menyebabkan krisis nuklir.

Dari budaya malu tersebut, masyarakat Jepang bisa menjalankan kehidupan sehari-harinya dengan tertib. Masyarakat Jepang juga terbiasa untuk lebih mementingkan kepentingan umum dibandingkan kepentingan sendiri.

Budaya malu telah melahirkan masyarakat Jepang yang memiliki jiwa kemanusiaan dan tanggung jawab yang tinggi.

Apakah budaya malu ini bisa ditanamkan di tengah masyarakat Indonesia? Termasuk dipegang teguh oleh para pejabat di Indonesia untuk berani mengundurkan diri tanpa diminta? 

Berita Lainnya